Jumat, 25 Januari 2013

Jakarta kolam raksasa, Jakarta tenggelam ??..!!

Jakarta kolam raksasa , Jakarta tenggelam ? ?

16 September 2010, jalan RE Martadinata Jakarta utara ambrol, banyak orang berpendapat, banyak orang menganalisa, tetapi satu hal yang disepakati bahwa salah satu penyebab adalah penurunan tanah alias ambles.




Gedung2 sepanjang jalan Thamrin, contoh Gedung Sarinah yang dibangun oleh Presiden Soekarno th 1963, kini 50 tahun  kemudian sudah mengalami penurunan /ambles +/- 25 cm, dan ditengarai mulai mengalami akselerasi penurunan yg cepat sejak 10 tahun terakhir, artinya selama 10 tahun terakhir rata2 terjadi penurunan bangunan 2 – 2,50 cm pertahun. Dan bukan tidak mungkin percepatan penurunan semakin besar seiring dengan kondisi tanah yang semakin parah. Bahkan beberapa sumber menyebutkan diwilayah Jakarta utara penurunan sudah mencapai 18-26 cm pertahun
Banyak ahli mengatakan, kalau kita tidak merubah mainset kita terhadap lingkungan bukan tidak mungkin 25 tahun mendatang Jakarta “tenggelam”, bahkan kinipun kita sudah menyaksikan betapa banjir Jakarta Januari 2013, membuat Jakarta menjadi kolam raksasa, bahkan dampak dan tingkat sebarannya melampaui banjir Jakarta Februari 2007. Padahal tingkat curah hujan rata2nya tahun 2013 jauh dibawah tahun 2007.

Kondisi alam ibukota telah mencapai titik kronis, lantaran minimnya daerah resapan. Menurut WALHI, tiap tahun Jakarta defisit air tanah sebanyak 66,6 juta meter kubik. Ini diperparah dengan turunnya sebanyak 2000 juta meter kubik air hujan per tahun. Sementara air yang terserap kedalam tanah hanya 36% saja, sisanya terbuang ke selokan dan sungai. Inilah yang menyebabkan banjir tak pernah teratasi.
Mengapa ini terjadi?

BMKG dalam releasenya 23 Januari 2013 mengingatkan warga DKI waspada  banjir di sekitar akhir Januari 2013.
Kombinasi permukaan laut pasang , curah hujan tinggi dan “jenuhnya” tanah dan utilitas Jakarta akibat dihajar banjir 17 Januari 2013, membuat kita percaya bahwa peringatan tersebut realistis, tidak mengada-ada.




Faktor2 yang membuat Jakarta tenggelam adalah:
1.    Fakta geografi, bahwa Jakarta dibangun diatas lahan rawa  yang merupakan delta dipantai utara P Jawa, yang notabene permukaan tanahnya  maksimal sama tinggi dengan permukaan air laut.  Jakarta juga merupakan muara sungai2 dari kaki perbukitan disekitar Gunung Gede, Salak.

2.    Faktor Demografi, bahwa Jakarta sebagai sentral denyut jantung Negara mengalami perkembangan kependudukan begitu pesatnya, melampaui kemampuan daya tampungnya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat menuntut tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, meski kadang bahkan sering harus  “menantang” alam.

3.    Fakta sistim perencanaan kota yang terkesan semaunya sendiri, berdasarkan selera dan keinginan saja, tanpa memperhitungkan dampak 10, 20, bahkan 50 tahun kedepan.
Jakarta tidak memiliki Perencanaan Tata Ruang yang bervisi jauh kedepan, hanya berdasarkan kepentingan jangka pendek.

4.    Faktor Lingkungan, bahwa karena perencanaan kota yang seadanya, Jakarta mengidap penyakit kronis, yaitu tenggelam dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau. Rusaknya sistim drainase, lenyapnya situ-situ, menyempitnya alur sungai dan terkikisnya  Daerah Aliran Sungai ( DAS ) dan rusaknya daerah resapan air baik yang ada di Jakarta sendiri maupun didaerah diatasnya ditengarai menjadi penyebab serius situasi ini. Menjadi fakta, betapa lingkungan Jakarta mendorong Jakarta menjadi kolam raksasa.
5.    Faktor kedisiplinan dan kesadaran kita yang sangat rendah.
    Kesadaran membuang sampah yang sangat rendah berakibat saluran drainase mampat, sungai/selokan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa
    Kedisiplinan yang rendah berakibat, kita tidak pernah secara konskuen bersepakat untuk membuat dan mematuhi perilaku baik yang ramah terhadap lingkungan. Ini bisa dibaca, betapa Peraturan Pemerintah bisa dinegosiasi untuk dikompromikan demi kepentingan sesaat, terutama yang menyangkut tata ruang dan ekplorasi air tanah.

Jakarta sudah sejak lama sebenarnya sadar banjir, awal abad ke 7, Tarumanegara sudah mempunyai “project” penanggulangan banjir dengan membuat kanal2 sepanjang 11-12 km .
Selanjutnya VOC datang dan JP Coen membangun delta menjadi kota yang kemudian disebut Batavia dengan membuat “sodetan” pada 13 kali dan kanal.
Dikala itu Pemerintahan Kolonial Belanda menerapkan disiplin keras . Itu di lakukan karena disamping mereka memiliki “culture” bawaannya, juga relative penduduknya tidak sepadat sekarang, sehingga tentu saja mudah kontrolnya.
Seiring dengan perkembangan dan pergantian jaman, Indonesia menyatakan merdeka dan terbebas dari penindasan kolonial Belanda. Kita tidak mau ditindas dan diatur oleh orang asing, kita siap untuk mengurus diri sendiri dengan budaya sendiri.
Kini, 150 tahun kemudian Jakarta berubah menjadi kota megapolitan, Jakarta menjadi pusat urat nadi kehidupan bangsa.

Jakarta menjadi kota multi fungsi,  ya pusat pemerintahan ya pusat perdagangan  ya pusat industri, sekaligus ibukota Negara.    80% perputaran uang ada di Jakarta.
Betapa Jakarta menjadi maha magnet yang memiliki daya tarik luar biasa besarnya, baik warga sendiri maupun warga asing.
Segala apapun ada di Jakarta. Jakarta menjelma bukan saja menjadi kota megapolitan, tetapi sekali gus menjadi belantara beton.
Dulu di era 60-70 an, Jakarta disebut sebagai kampung raksasa, big village belantara hutan. Kini kampung raksasa itu menjelma menjadi belantara beton, yang hanya sedikit menyisakan ruang hijau terbuka.
Pembangunan infrastruktur tidak diimbangi dengan fasilitas utilitas yang memadai, ketidak seimbanganpun terjadi dan akibatnya bencana banjir sudah berulangkali diderita warganya.
Pertumbuhan pemukiman yang luar biasa memangsa area terbuka, bahkan sungai dan drainase menjadi merana.
Akibatnya Jakarta kehilangan kemampuan untuk menyerap air limpahan, air hujan, air produk aktifitas ekonomi dan rumah tangga menjadi air permukaan yang liar. Banjir dimusim hujan, dan kekeringan dimusim kemarau. Kondisi diperparah dengan air pasang /rob laut dan penurunan tanah akibat ekploitasi pembangunan.
Jakarta kehilangan daya serap karena 80% permukaan tertutup beton dan aspal.  Jakarta kehilangan kemampuan untuk captering air permukaan, disatu sisi, air tanah di Jakarta disedot habis-habisan, disisi lain Jakarta kehilangan kemampuan menyerap air permukaan untuk menambah cadangan air tanahnya.
Itulah mengapa banjir daan kekeringan serta penurunan tanah di Jakarta tidak terhindarkan.
Itulah mengapa begitu menakutkan ramalan para ahli kalau Jakarta bakal tenggelam, lebih2  global warming berakibat naiknya muka air laut.
Now and next, apa yang mesti dilakukan.
Satuhal yang pasti, kita tidak boleh pasrah berdiam diri, kita semua baik individu maupun bersama-sama, baik selaku warga maupun lembaga pemerintah & swasta mempunyai tanggung jawab yang sama  secara proporsional.
Pada hakekatnya luapan air permukaan yang melebihi kapasitas daya tampung, itulah banjir.
Patokan sederhananya adalah upaya menjaga agar bagaimana kita bisa membuat agar air permukaan tidak terbuang percuma.
Membuat Jakarta kembali memiliki daya menyerap air permukaan untuk di jadikan cadangan air tanah menjadi satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, kalau kita tidak ingin Jakarta menjadi kolam raksasa, dan tenggelam.

Membuat sumur-sumur resapan dan Lubang Resapan Biopori menjadi pilihan sederhana yang murah tetapi sungguh amat mendasar dan luar biasa ampuhnya.

Dengan meningkatnya cadangan air tanah, bukan saja membuat Jakarta bisa memperkecil bahaya banjir, tetapi juga bisa membuat Jakarta tidak cepat amblas karena beban belantara beton diatasnya.
Kita boleh membangun saluran drainase, waduk air diatas Jakarta, bahkan terowongan smart deep tunnel yang akan menjadi project kebanggaan kota. Namun tetap saja konservasi alam berkelanjutan adalah yang paling utama dan bijaksana
Tetapi kita semua segenap warga bisa berkontribusi tanpa harus memiliki kemampuan tinggi, dengan cara menempatkan diri kita menjadi warga yang sadar lingkungan, warga berperilaku ramah lingkungan dan tentu saja masyarakat dengan disiplin tinggi.

Semoga banjir Jakarta 2013, menjadi mimpi buruk terakhir.

Senin, 21 Januari 2013

DENGAN LUBANG BIOPORI DAN SUMUR RESAPAN, MEMPERKECIL TERJADINYA BANJIR

DENGAN LUBANG BIOPORI DAN SUMUR RESAPAN, MEMPERKECIL TERJADINYA BANJIR
Banjir terjadi karena air permukaan yang ada tidak tertampung / terakomodasi oleh jaringan yang tersedia
Rumusnya : Air permukaan > Kapasitas jaringan yg tersedia = Banjir.
Air Permukaan terdiri dari 2 elemen, yaitu hujan dan proses aktifitas manusia .
Hujan, adalah proses alami yang tidak bisa dihindari, kita tidak bisa mengelak turunnya hujan. Meski memang tindakan manusia mempengaruhi keseimbangan alam.
Disini saya ingin katakan, bahwa siapapun kita, individu, koorporate,   maupun instansi/kembaga bersama-sama pemerintah dalam segala aktivitasnya mempunyai tanggung jawab yang sama dalam proporsi masing-masing untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjadi banjir.
Kita sebagai individu bertanggung jawab atas perilaku kita dalam menjaga, memelihara lingkungan dimana kita hidup dan tinggal.
Banyak yang bisa kita lakukan tanpa harus menunjuk hidung pihak lain, mulai dari kedisiplinan kita untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak seenaknya menyedot air tanah , membersihkan got sekitar rumah kita sampai upaya “memperbaiki” lapisan tanah dengan membuat “Lubang Resapan Biopori ( LRB )” dan menangkap air permukaan agar menjadi cadangan air tanah dengan membuat “Sumur Resapan”.

LRB ( Lubang Resapan Biopori ).


Lubang Resapan Biopori, relative lebih murah dan mudah dengan diameter 10 – 15 cm dengan kedalaman 1 – 1,5 meter.
Karena ukuran yang kecil, LRB lebih diarahkan untuk menggemburkan lapisan tanah, sehingga subur dan mudah menyerap air permukaan.
Dengan menggunakan alat sederhana yg bisa kita beli disetiap toko material, atau kalau dikampung kita bisa membuatnya dengan batang bamboo yang ujungnya kita belah 3 kita bisa mulai “ngebor “ tanah untuk membuat lubang kemudian mulut lubang diperkuat dengan adukan semen atau Klem sambungan pipa PVC agar lubang tetap terjaga tidak longsor, setelah itu kita isi lubang itu dengan sampah dapur, daun2an, pangkasan rumput dll. Sampah organic yg kita masukkan dalam LRB akan berproses menjadi kompos yang kemudian bisa kita ambil untuk pupuk tanaman. Lubang yg sudah kita ambil komposnya diisi lagi dengan sampah organic.
                       Contoh alat bor:


Sehingga dengan LRB banyak manfaat yg bisa kita ambil, yaitu menggemburkan tanah, menyerap air permukaan  yang nota bene mengurangi volume air permukaan, artinya dalam skala kecil kita ikut mencegah banjir dan dimusim kering kita panen pupuk kompos.
Semakin banyak LRB dibuat, semakin banyak kita memetik manfaat.  Idealnya jarak LRB satu dengan lainnya antara 50 – 100 cm.

Sumur Resapan.
Dengan sumur resapan, kita bisa ikut “menabung air” didalam tanah dengan cara mengarahkan air permukaan masuk dalam sumur resapan yang sudah kita persiapkan. Itu artinya kita berkontribusi untuk menjaga ketersediaan cadangan air dalam tanah, sekaligus mengurangi secara siknifikan air mengalir dipermukaan yang artinya berkontribusi mencegah terjadinya banjir.




Sumur resapan memang relative lebih mahal dibanding membuat Lubang Resapan Biopori. Tetapi dalam beberapa situasi, Sumur Resapan menjadi alternative pilihan yang harus kita ambil. Sebagai contoh, saya mempunyai halaman rumah yang relative lebih rendah dari jalan yang apabila hujan turun, air dihalaman menggenang. Kemudian saya membuat Sumur Resapan dihalaman yang menampung bukan saja air hujan tetapi juga air limbah rumah tangga yang sebelumnya ditampung dulu dalam bak control untuk mencegah minyak dan limbah deterjen masuk ke sumur.
Alhamdulilah sejak saat itu setiap hujan turun tidak ada lagi genangan air dihalaman.
Memang Sumur Resapan yg saya buat relative lebih mahal. Dengan menggunakan buis beton ukuran diameter 80 cm sedalam 4,00 meter dan dipermukaan saya tutup dengan plat beton berlubang ventilasi dari pipa PVC 4” menghabiskan kurang lebih Rp 4 juta termasuk salurannya.
Sebagai gambaran saya lampirkan gambar yang saya copy dari  YudhaKaryadi. (mohon ijin), sebagai gambaran sumur resapan yang saya buat.
Lubang resapan saya tutup dg plat beton bertulang dan diatasnya saya tutup dengan rumput setelah sebelumnya diberi lubang ventilasi menggunakan T-shock PVC 4"
Last but not least, ayo kita lestarikan lingkungan kita. Jangan lagi kita eksploitasi habis2an cadangan air tanah tanpa memberi  kesempatan alam recovery.

Jumat, 18 Januari 2013

BANJIR JAKARTA, RIWAYATMU DULU

BANJIR JAKARTA
Jakarta ternyata sejak dulu telah dilanda banjir tahunan. Posisi Jakarta memang berada di bawah permukaan laut. Bahkan banjir besar sudah terjadi sejak tahun 1600-an.
Jakarta terletak di dataran rendah. Kota Batavia oleh pendirinya JP Coen didirikan di atas rawa-rawa.
Hampir 70% daratan Jakarta dibawah permukaan laut rata2, bahkan ada beberapa tempat berada  70 – 300 cm dibawah muka air laut.
Prasasti Tugu peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang ditemukan di Cilincing, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Prasasti yang dibuat sekitar tahun 403 Masehi itu bertuliskan tentang penggalian kanal atau Sungai Candrabhaga ( Bekasi ) dan Sungai Gomati ( Kali Mati Tangerang )  sepanjang 11 km untuk mengatasi banjir .
Pada masa itu, Raja Purnawarman membuat kanal sepanjang 11 kilometer untuk mengelola air agar tidak banjir, sekaligus untuk menampung air saat musim panas. Candrabhaga kini dikenal dengan nama Bekasi, dan diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Tarumanegara pada masa lalu.
Belanda yang datang pertama kali lewat VOC-nya pun tahu bahwa banjir kerap mengancam, oleh karena itu mereka membangun kanal-kanal yang sisanya masih bisa kita saksikan di sekitar kawasan wisata Kota Tua sampai kawasan bisnis Mangga Dua.
Banjir juga terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda di abad 19. Tahun 1918, banjir besar melanda Batavia, nama Jakarta saat itu, sehingga memaksa VOC memindahkan pusat pemerintahannya. VOC kemudian merancang sistem pengendalian banjir melalui proyek kanal.
Bendungan Empang dan Katulampa pun dibangun untuk membendung aliran air. Sungai Ciliwung diolah, kanal-kanal ditambah.

Sejak tahun 1913, Belanda mengalokasikan dana 2 juta gulden untuk mengatasi banjir. Van Breen menjadi insinyur yang mendesain upaya itu. Salah satu produknya adalah pembuatan banjir kanal. Namun, Banjir Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas pembangunannya hingga Belanda pergi. Sedangkan Kanal Lingkar Kota dan sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum terbangun.
Pascabanjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota.
Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain:
(a) Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya;
(b) Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur;
(c) Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.
Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga kini.
Banjir pun terus melanda Jakarta. Tahun 1973 direncanakan proyek Kanal Barat dituntaskan. Anggaran berasal dari bantuan Belanda. Namun, proyek ini ternyata batal dikerjakan.
Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk Depok. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan desain detailnya sudah selesai, tetapi juga tak jadi dibangun.
Banjir besar terjadi lagi pada tahun 1996, 2002 dan Februari 2007. Banjir 2002 Menurut Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menggenangi 42 kecamatan di Jakarta (100 persen) dengan 168 kelurahan (63,4 persen). Luas genangan mencapai 16.041 hektar atau 24,25 persen dari luas DKI Jakarta dengan ketinggian air tertinggi lima meter. Korban banjir sebanyak 381.266 jiwa dan menelan korban jiwa sebanyak 21 orang (Kompas, 5 Februari 2002).
Kejadian banjir besar th 1996, dan th 2002 telah menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah, demikian juga kejadian besar pada tahun 2007 telah merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi. Banjir 2007 telah menyebabkan 55 orang menjadi korban meninggal dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang, dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah merupakan kerugian tidak langsung.
Banjir memang tak pernah jemu melanda Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta masa kepemimpinan  Gubernur Soetiyoso dan dilanjutkan Fauzi Bowo adalah Banjir Kanal Timur (BKT). Seperti yang dijelaskan di Wikipedia, BKT mengacu pada rencana induk yang kemudian dilengkapi “The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta” tahun 1991, serta “The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek” pada Maret 1997. Keduanya dibuat oleh Japan International Cooperation Agency.
Kanal Banjir Barat dan Timur
Dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants, tersusunlah "Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta" pada Desember 1973. Berdasarkan rencana induk ini, seperti yang ditulis Soehoed dalam Membenahi Tata Air Jabotabek, pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua terusan yang melingkari sebagian besar wilayah kota.
Terusan itu akan menampung semua arus air dari selatan dan dibuang ke laut melalui bagian- bagian hilir kota. Kelak, terusan itu akan dikenal dengan nama Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Ini adalah salah satu upaya pengendalian banjir Jakarta di samping pembuatan waduk dan penempatan pompa pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
Di dalam rencana induk itu dirancang sistem pengendalian dengan membuat kanal yang memotong aliran sungai atau saluran di wilayah Jakarta Barat. Kanal ini adalah perluasan terusan banjir peninggalan Van Breen, yang kemudian beken disebut sebagai Kanal Banjir Barat (KBB). Tetapi, karena sebagian besar alur kanal ini melintasi daerah permukiman padat, untuk pembebasan tanahnya dibutuhkan persiapan dan pelaksanaan yang panjang. Akibatnya, pembuatan perluasan BKB tersebut pun tertunda.
Setelah terjadi banjir di wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979, pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta mencari jalan pemecahan untuk mengurangi potensi terjadinya genangan pada masa yang akan datang. Rencana perluasan BKB pun diganti dengan pembuatan jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Saluran banjir Cengkareng selesai dibuat pada tahun 1983.
Kanal Banjir Barat
Pembangunan saluran banjir Kanal Banjir Barat, atau juga sering disebut Kali Malang (Barat) ini dimulai tahun 1922, dengan bagian hulu berawal dari daerah Manggarai ke arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah Karet Kubur. Selanjutnya ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di sebuah reservoar di muara, di daerah Pluit.
Kanal Banjir Timur
Untuk mengatasi banjir akibat hujan lokal dan aliran dari hulu di Jakarta bagian timur dibangun Kanal Banjir Timur (BKT). Sama seperti BKB, BKT mengacu pada rencana induk yang kemudian dilengkapi "The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta" tahun 1991, serta "The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek" pada Maret 1997. Keduanya dibuat oleh Japan International Cooperation Agency.
Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.
BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare. Rencana pembangunan BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta.
BKT akan melintasi 13 kelurahan (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer. Total biaya pembangunannya Rp 4,9 triliun, terdiri dari biaya pembebasan tanah Rp 2,4 triliun (diambil dari APBD DKI Jakarta) dan biaya konstruksi Rp 2,5 triliun dari dana APBN Departemen Pekerjaan Umum.
Untuk pembuatan BKT, perlu pembebasan lahan seluas 405,28 hektare yang terdiri dari 147,9 hektare di Jakarta Utara dan 257,3 hektare di Jakarta Timur. Sampai dengan September 2006, lahan yang telah dibebaskan 111,19 hektare dengan biaya sekitar Rp 700 miliar. Untuk tahun 2007, direncanakan pembebasan 267,36 hektare dengan biaya Rp 1,2 triliun.
Dalam kenyataannya, pembuatan kanal yang sudah direncanakan lebih dari 30 tahun lalu itu menghadapi pembebasan tanah yang berjalan alot. Pembangunannya menjadi lambat. Rencana tersebut tidak kunjung selesai direalisasikan, dan banjir seperti yang kini dirasakan warga Jakarta menjadi kenyataan setiap tahun
Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.
BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare.
Rencana pembangunan BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta. BKT akan melintasi 13 kelurahan  (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer.

(Dikutip dari Berbagai sumber)

Minggu, 06 Januari 2013

Deep Tunnel


                           DEEP TUNNEL PROGRAM DKI.

TEROWONGAN RAKSASA MULTIGUNA 'DEEP TUNNEL' ATASI BANJIR TENGAH KOTA. Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, mengatakan, terowongan raksasa atau deep tunnel yang akan dibangun untuk menanggulangi masalah banjir ibukota merupakan terowongan multiguna. Setidaknya, terowongan tersebut juga dapat difungsikan sebagai jalan tol.

 Menurut Jokowi, terowongan tersebut bisa digunakan sebagai jalan tol di saat kering. Namun, saat musim hujan, jalan tol di terowongan itu ditutup.
Program yang di kemukakan Pak Gubernur, adalah Program lama, yakni Rh 2007. Kala itu Gubernur DKI adalah Soetiyoso, sedangkan Ir Fauzi Bowo sebagai Wkl Gubernur.

Berikut liputannya :

KONSEP DEEP TUNNEL RESERVOIR SYSTEM (DTRS) DIDUKUNG PENUH PEMPROV DKI JAKARTA
Gubernur provinsi DKI Jakarta, Sutiyoso sangat terkesan dengan presentasi Deep Tunnel Reservoir System (DTRS) yang dipaparkan Badan Regulator (BR), pada Rapim Pemprov DKI, hari Kamis tanggal 1 Maret 2007 di Balaikota. Rapim tersebut dihadiri beberapa pimpinan dan petinggi Pemprov DKI, diantaranya Gubernur, Wakil Gubernur, SEKDA, Para Asisten, Ka. BAPPEDA, Para Kepala Dinas, dan para Kepala Biro. Konsep DTRS sebagai bagian dari upaya pengendalian Banjir yang terintegrasi dengan sistem manajemen sumber daya air ini rencananya akan dipresentasikan Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada acara Dengar Pendapat DPR RI pada hari Senin, 5 Maret 2007 yang akan datang.
Konsep DTRS, yang dipresentasikan oleh Ketua BR – Achmad Lanti & Anggota Bidang Teknik BR – Firdaus Ali ini menggambarkan permasalahan utama, berupa inovasi teknologi dan usulan aplikasinya untuk contoh kasus di DKI Jakarta. Teknologi ini diadopsi dari proyek serupa di beberapa kota metropolitan di dunia, daintaranya Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong, Chicago dan Milwaukee di Amerika Serikat. DTRS menganut konsep “5 in 1”, yaitu manfaatnya untuk mengendalikan banjir dan genangan air, menampung air limbah pada terowongan di bawah tanah, yang kemudian dimanfaatkan menjadi air baku untuk pasokan ke Instalasi Pengolahan Air bersih (IPA) PDAM; untuk mengendalikan pemompaan air tanah secara berlebihan dan terakhir pekerjaan ini tidak membutuhkan pembebasan tanah/lahan. Sebagai tahap awal rencananya DTRS ini akan dibangun di Jakarta bagian tengah, yaitu letaknya berada di bawah Banjir Kanal Barat (BKT) sepanjang 17 km dengan luas penampang basah 42 x 42 m2, yang dapat menampung air sekitar 30 juta m3, dengan estimasi total biaya yang dibutuhkan + Rp. 4,4 triliun.
Estimasi biaya tersebut dihitung dari perbandingan proyek serupa di Singapura yang menghabiskan dana Rp. 18 triliun untuk panjang 70 km. DTRS juga dapat menahan banjir yang terjadi Februari 2007 dengan debit puncak 450 m3/dt dalam 18,5 jam. Dalam implementasinya DTRS harus disinkronisasi dengan konsep pengendali banjir yang lainnya seperti Banjir Kanal Timur (BKT), Banjir Kanal Cengkareng, dan juga melengkapi rencana pembangunan waduk Ciawi di hulu kali Ciliwung. Wagub Fauzi Bowo, mendukung penuh ide tersebut, sebagai solusi masa depan. Ia menyatakan, presentasi yang akan dibawakan pada acara “Dengar Pendapat” dengan DPR-RI Senin yang akan datang untuk dapat mengundang simpati dan dukungan dari gabungan para anggota DPR-RI dan beberapa Menteri yang hadir nanti, serta mengharapkan persetujuaan mereka untuk memulai Study Kelayakannnya. Ia juga peduli kepada sangat efisiennya biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan / penglolaan DTRS tersebut.
Hal ini dapat diyakini bahwa DTRS dapat beroperasi dengan basis pembiayaan sendiri/mandiri, misalnya mendapatkan pemasukan dari penjualan biogas (methane) dan biosolid (pupuk) yang dihasilkan dari limbah, penerimaan dari penjualan air baku, jasa pelayanan air limbah dan kemungkinan utility charge Permprov DKI berjanji akan membiayai proyek tersebut apabila pembangunan waduk Ciawi – Bogor juga disetujui untuk dibiayai oleh pemerintah pusat.

Pemprov DKI akan Bangun ‘Deep Tunnel’
Untuk mengatasi banjir di Jakarta, Pemprov DKI merencanakan untuk membangun deep tunnel reservoir system (DTRS) di sepanjang Banjir Kanal Timur (BKT), Banjir Kanal Barat (BKB), dan di sebelah barat Sungai Ciliwung.
Pembangunan DTRS sepanjang 17 kilometer dan diameter 18 meter ini diperkirakan menelan biaya pembangunan senilai Rp4,37 triliun.
DTRS ini akan dibangun di daerah tangkapan air yang kerap dilanda banjir seperti di Bukit Duri, Kampung Melayu, pintu air Manggarai, pintu air Karet, Grogol, Banjir Kanal Barat, dan Muara Angke.
“Kajian sementara, kita akan kendalikan air yang meluap dari sungai Ciliwung,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo kepada wartawan seusai mendengarkan paparan dari Badan Regulator mengenai DTRS di Balai Kota, Kamis (1/3).
Fauzi mengatakan kelebihan dari sistem ini yaitu tidak ada pembebasan lahan karena tandon dibangun di bawah 100 meter dari permukaan tanah.
“Nanti, tidak ada warga yang menentang proyek ini karena terowongan dan tandon dibangun di dalam tanah,” katanya.
Ia menambahkan tandon yang nantinya dibangun bisa menampung air yang cukup besar, yakni 30 juta meter kubik. Sehingga, air yang ada di permukaan tanah bisa masuk ke terowongan bawah tanah dan ditampung di tiga tandon yang ada di bawah BKT, Setia Budi, dan BKB.
Air yang ditampung di tandon ini kemudian digunakan untuk pasokan air baku bagi Perusahaan Air Minum (PAM). Selain itu, sistem ini bisa juga sebagai tempat penampungan air limbah rumah tangga yang kemudian diolah menjadi pupuk.
DTRS mengaplikasikan green technology atau teknologi ramah lingkungan sehingga tidak mencemari lingkungan karena sistem ini merupakan sistem saluran dan reservoir bawah tanah yang secara terintegrasi dapat mengatasi masalah banjir, kelangkaan air baku, penanganan limbah cair perkotaan, manajemen dan konservasi air tanah, serta untuk memperbaiki kembali kondisi kualitas sungai yang mengalami pencemaran berat di perkotaan.
“Sistem ini merupakan integrated system dari BKT dan BKB. Kita akan bicarakan dengan pemerintah pusat untuk membangun tunnel ini karena pembiayaan cukup besar,” tandasnya.
Fauzi mengatakan sistem ini sudah dibangun di Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong, dan Chicago. Sementara Jakarta akan mengembangkan sistem yang cocok dengan sistem di Ibukota.
“Seperti di Chicago, pembiayaannya 75 persen oleh pusat dan 25 persen daerah. Kita mau pusat juga membantu,” ujarnya.
Ketua BR Ahmad Lanti menambahkan, di Singapura, deep tunnel dibangun sepanjang 70 kilometer selama tiga tahun. “Kalau di Jakarta, kan hanya 17 kilometer. Jadi, bisa dibangun satu sampai dua tahun,” kata dia.
Anggota Badan Regulator Firdaus Ali mengatakan, untuk tahap awal, akan dibangun deep tunnel di sisi barat Sungai Ciliwung. Tandon akan dibangun di kawasan Setia Budi.
“Tahap awal ini penting untuk dibangun agar bisa mengamankan wilayah ring satu dari banjir,” kata Firdaus.
Firdaus juga menyabutan pihaknya akan melakukan studi kelayakan untuk mengkaji sistem ini. Uji kelayakan itu diharapkan bisa dimulai pertengahan 2007 dan memakan waktu 1,5 tahun.
“Kerugian akibat banjir tahun 2007 mencapai Rp8,8 triliun dan tahun 2002 mencapai Rp9 triliun. Karena itu, sangat layak untuk membangun tunnel yang biayanya Rp4,37 triliun,” katanya.
Saat ditanya kapan akan dimulai pembangunan deep tunnel, Fauzi mengatakan belum tahu kapan pembangunan ini dimulai. “Yang penting, sekarang kita wacanakan dulu,” ujarnya.

Atasi Banjir, Deep Tunnel Paling Efektif

Deep Tunnel Reservoir System (DTRS) dinilai paling efektif dibanding dengan pembangunan sistem pengendalian banjir yang lain seperti waduk, kanal, sungai purba dan sumur resapan.
“Dengan dibangunnya DTRS, kita bisa melakukan penanganan banjir, mengatasi kelangkaan air baku PAM, penanganan limbah cair, konservasi air tanah, dan perbaikan kualitas sungai. Five in One ,” kata Anggota Badan Regulator Firdaus Ali kepada wartawan di Jakarta.
Ia mencontohkan untuk membangun waduk Ciawi dibutuhkan dana Rp4,3 triliun. Dan untuk membangun waduk tidak mudah dilakukan karena terganjal pembebasan lahan.
Jika dibangun waduk, dari lima manfaat deep tunnel, waduk hanya mampu untuk penanganan banjir dan mengatasi kelangkaan air baku PAM. Waduk tidak bisa dimanfaatkan untuk penanganan limbah cair, konservasi air tanah, dan perbaikan kualitas sungai. Begitu juga dengan kanal. Sistem ini hanya berguna untuk menangani banjir saja.
“Sedangkan sungai purba, sistem ini tidak bisa mengolah limbah cair dan perbaikan kualitas sungai. Selain itu, kekurangannya perlu pembebasan lahan,” kata Firdaus.
Firdaus juga memaparkan komparasi biaya pembangunan DTRS dan sistem penanganan konvensional. Pembangunan sistem pengendalian banjir dibutuhkan dana Rp5 triliun, pembangunan sistem pengelolaan limbah cair Rp11 triliun, pembangunan alternatif sistem penyediaan air baku Rp2,4 triliun, sementara biaya perbaikan kualitas lima sungai Rp5 triliun.
Selain itu, perlu dihitung kerugian akibat banjir Februari 2002 sebesar Rp9,9 triliun dan Februari 2007 sebesar Rp8,8 triliun.
“Total biaya pembangunan dan kerugian ada Rp41,4 triliun. Sedangkan untuk membangun DTRS dari tahap awal sampai akhir selama 15 tahun, biaya yang dibutuhkan hanya Rp21 triliun,” katanya.
Analisis makro untuk DTRS yaitu perkiraan total biaya berdasarkan potensi genangan air pada 34 lokasi krusial yang bisa menampung 65 juta meter kubik. DTRS juga bisa mengolah limbah cair sebesar 360 juta m3 per tahun.
Tak hanya itu, ada tambahan pemenuhan kebutuhan air baku PAM sebesar 24 juta m3 per bulan, ujarnya.
“DTRS juga berfungsi untuk mengolah air sungai yang kotor itu menjadi bersih. Ada perbaikan kualitas lingkungan secara simultan,” imbuhnya.
Potensi pendapatan dari DTRS sebesar Rp1,53 triliun per tahun dari retribusi air limbah Rp875 miliar, penjualan air baku Rp250 miliar, penjualan pupuk organik (biosolids) Rp350 miliar, dan produksi biogas Rp55 miliar.
“DTRS bisa bertahan hingga seratus tahun. Teknologi ini yang paling tepat untuk Jakarta,” tandasnya.

Banjir Teratasi, Pendapatan Meningkat
Pemprov DKI Jakarta terus berusaha mencari jalan bagaimana mengumpulkan dana Rp 4,37 triliun untuk membangun Deep Tunnel Reservoir System (DTRS). Pembangunan DTRS atau pipa bawah tanah penampung banjir sendiri diyakini Pemprov dapat menjadi solusi bagi penanganan banjir tahunan di Jakarta. Keyakinan Pemprov ini didasarkan pada hasil studi tim ahli yang melihat hasil kerja DTRS di Hongkong dan Chicago, Amerika Serikat. “Kita tunggu dulu penelitian kelayakannya,” ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat ditemui wartawan di pemberian perhargaan Laboratorium Analisa Air PAM Jaya sebagai Laboratorium Penguji Sesuai ISO 17025-2005.
Direktur Teknik PAM Jaya Kris Tutuko mengatakan, DTRS ini merupakan tambahan wawasan baru terhadap solusi pengendalian banjir di Jakarta. Dengan DTRS dapat dilakukan pengolahan air limbah dan penyimpanan air baku dalam waktu sama. “Jadi menggunakan sistem terpadu,” ujar Tutuko.
Sistem terpadu yang diterapkan DTRS akan bekerja efektif bila dua lembaga yang mengatur air limbah dan air minum berjalan bersama. DTRS sendiri dapat diterapkan di Jakarta karena ditanam di bawah permukaan tanah dan di bawah permukaan sungai. “Sudah ada contohnya di Singapura dan Chicago,” ujar Tutuko.
Menurut Direktur Utama PAM Jaya Didit Haryadi Priyohutomo, kelebihan dari DTRS adalah tak perlu ada pembebasan lahan. Karena DTRS dibangun 100 meter di bawah tanah. Penanaman DTRS di bawah tanah juga tak akan mengganggu jaringan listrik atau komunikasi. Sebab, tim ahli yang membangun DTRS itu sudah mempunyai peta jaringan listrik dan komunikasi. “Cara menanam pipa DTRS pun tidak dengan menggali tanah secara horisontal tetapi vertikal,” ujar Didit.
Dari hasil penelitian tim ahli di luar negeri, DTRS selain dapat menanggulangi banjir juga meningkatkan pendapatan masyarakat. “Karena DTRS itu mengolah air baku dan limbah. Ketika limbah menjadi pupuk, pupuk tersebut dapat dijual,” ujar Didit. Ini sudah terbukti di Chicago, di mana kawasan tersebut hanya berpenghuni 750 ribu namun mampu menghasilkan jutaan pupuk dari DTRS saja. “Hongkong ingin meniru dan kemudian membangun DTRS itu. Hongkong menargetkan 2008, pembangunan DTRS itu selesai,” ujar Didit.
Hongkong berani membangun DTRS padahal DTRS yang diperlukan sangat panjang, 70 kilometer. “Masak Jakarta tak mampu membangun DTRS yang hanya 17 kilometer,” ujar Didit. Uji kelayakan ini penting. Karena itu, sebelum membangun DTRS, tim ahli memerlukan waktu setahun untuk melakukan pengujian di lapangan. Tak hanya unsur teknologi saja yang jadi pertimbangan tim ahli, namun juga kemampuan sumber daya manusia untuk menangani DTRS itu. Rencananya, sistem ini akan dibangun di sepanjang Banjir Kanal Timur (BKT), Banjir Kanal Barat (BKB), dan di barat sungai Ciliwung.
PAM Jaya yang merupakan salah satu perusahaan air minum besar di Indonesia berjanji akan memberikan pelayanan lebih baik dalam menguji kualitas air tanah. Laboratorium Analisa Air PAM Jaya kemarin mendapat akreditasi ISO/IEC 17025 : 2005 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Keberhasilan mendapat akreditasi itu semoga menjadi jaminan untuk memberi pelayanan lebih baik dalam melakukan uji baku mutu air tanah. “Inilah maknanya bagi masyarakat karena adanya akreditasi ini telah lolos standar internasional,” kata Didit.
Sekjen KAN Sunarya mengatakan akreditasi yang diberikan kepada PAM JAYA itu telah melalui seluruh proses pengujian sesuai persyaratan. “Seluruh 25 parameter yang menjadi standar internasional telah terpenuhi, PAM Jaya telah memenuhi standar tidak saja nasional tapi di seluruh dunia,” tandasnya.

IMPLEMENTASI KONSEP IUWRM UNTUK KETERPADUAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DAN PENANGANAN KEMACETAN LALU LINTAS DI WILAYAH METROPOLITAN DKI JAKARTA

I. PENDAHULUAN

Kota Metropolitan DKI Jakarta, dengan luas total 661,270 km2, sebagai ibu kota negara dan pusat berbagai aktifitas seperti pemerintahan, ekonomi, industri, perdagangan, dan sosial untuk menunjang fungsinya semakin memerlukan berbagai sarana dan prasarana pendukung.
Total jumlah penduduk DKI Jakarta yang terdaftar sampai tahun 2004 (data BPS untuk Pemilihan Presiden RI 2004) adalah sebanyak 9,1 juta jiwa. Bila dikaitkan dengan beban utilitas perkotaan, jumlah total penduduk yang harus dilayani untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya bisa mencapai 11 juta jiwa lebih, hal ini terutama karena relatif tingginya jumlah penduduk yang beraktifitas di wilayah DKI Jakarta tetapi bukan merupakan penduduk terdaftar dan bermukim di wilayah ini (commuters).
Dalam proses transisi dari kota metropolitan menjadi megapolitan, Pemda DKI Jakarta terus menghadapi tantangan berat untuk dapat mewujudkan cita-cita atau harapan bersama menjadi sebuah kota yang layak untuk dihuni (livable city) dalam rangka mendukung produktifitas warganya mencapai tingkat kesejahteraah ekonomi dan sosial yang maksimum. Sementara itu, dalam saat bersamaan perubahan tataguna lahan dan perubahan iklim (climate change) akibat dampak dari pemanasan global (global warming) telah secara signifikan menimbulkan akumulasi masalah lingkungan bagi Kota Jakarta.
Ancaman bencana banjir jika musim hujan datang, masih akan terus membuat masyarakat yang bermukim pada beberapa wilayah rawan banjir maupun di wilayah lain harus bekerja keras untuk menyelamatkan dan membebaskan diri dari resiko rutin yang intensitas dan frekuansinya dari waktu ke waktu semakin tinggi. Bencana banjir besar pada awal tahun 2002 dan 2007 di wilayah Jabodetabek telah menyebabkan total kerugian mencapai Rp. 18,7 triliun dengan korban jiwa mencapai 159 jiwa.
Saat bersamaan masyarakat Jakarta terus menghadapi krisis kelangkaan air bersih. Kemampuan dua operator swasta, PALYJA dan Thames PAM Jaya (TPJ) untuk memperbaiki tingkat pelayanan air bersih masih jauh dari ekspektasi masyarakat pelanggan, terutama apabila dikaitkan dengan kecenderungan peningkatan tarif air dari waktu ke waktu yang sudah mencapai titik jenuh (saturated). Salah satu faktor penyebab, disamping tingginya tingkat kebocoran (non revenue water) adalah karena semakin terbatasnya suplai air baku dari sumber (utama) Waduk Serbaguna Jatiluhur. Sementara itu, kondisi 13 sungai yang mengalir membelah wilayah Jakarta saat ini berada dalam kondisi sangat tercemar sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih (BPHD-DKI, 2005).
Karena masih relatif sangat rendahnya cakupan layanan air bersih perpipaan yang ada, dimana hingga saat ini, kedua mitra swasta PAM Jaya tersebut di atas baru mampu melayani ± 44% dari total jumlah penduduk yang ada, maka timbul masalah serius lain yang terkait dengan manajemen sumber daya air (SDA) di perkotaan secara keseluruhan yaitu terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap cadangan air tanah, khususnya air tanah sedang dan dalam yang menyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah bersamaan dengan terjadinya penurunan permukaan tanah (land subsidence) secara signifikan pada beberapa wilayah kota yang juga berakibat terjadinya percepatan intrusi air laut.
Pada saat bersamaan, masalah kemacetan lalu lintas akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang mencapai 10% setiap tahunnya sementara pertambahan volume jalan tidak lebih dari 1% telah menyebabkan terjadinya kemacetan yang semakin luar biasa mulai dari pagi hingga malam hari. Kerugian yang ditimbulkan oleh kondisi kemacetan lalu lintas dalam bentuk peningkatan konsumsi bahan bakar, pencemaran udara, stress kejiwaan, dan hilangnya peluang bisnis dan waktu produktif pengguna jalan di kota-kota besar seperti Megapolitan Jakarta. Untuk Kota Metropolitan Jakarta, total kerugian yang ditimbulkan bahkan sudah mencapai IDR 43,316 triliun/tahun (Kompas, 6/11/07).

II. BEBERAPA MASALAH ESENSIAL DALAM PENGELOLAAN SDA DAN SISTEM TRANSPORTASI DALAM KOTA DI DKI JAKARTA
Masalah pengelolaan SDA dan pengendalian kemacetan lalu lintas di Jakarta dewasa ini sudah berada pada tingkat kondisi yang sangat kritis yang sangat memerlukan penanganan secara menyeluruh dan terintegrasi. Beberapa hal krusial yang terkait dengan masalah pengelolaan SDA di DKI Jakarta diantaranya adalah sebagai berikut:

2.1 BENCANA BANJIR DAN UPAYA PENGENDALIANNYA
Pengelolaan SDA yang selalu melahirkan kekuatiran masyarakat dan pemerintah setiap musim hujan datang adalah ancaman banjir. Perubahan tataguna lahan, semakin terbatasnya kemampuan saluran drainasi kota dalam menerima limpasan air hujan ditambah dengan prilaku masyarakat yang menjadikan saluran air atau sungai sebagai tempat pembuangan sampah serta akibat dampak dari perubahan iklim global semakin memperberat upaya pengendalian banjir di wilayah ibu kota ini.
Sebagian besar wilayah di DKI Jakarta tidak luput dari ancaman bahaya banjir yang frekuensi dan intensitasnya semakin tinggi. Setiap musim hujan pada beberapa daerah yang merupakan pusat aktifitas bisnis dan pemerintahan selalu terjadi genangan air akibat merosotnya kapasitas saluran drainasi yang ada di tengah-tengah perubahan tata guna lahan yang memperbesar air limpasan (run off).
Berdasarkan kondisi topografinya, hampir 50% dari wilayah Ibu Kota Jakarta berada pada dataran banjir dari 13 sungai yang melewati Kota Jakarta [12]. Pasca banjir besar tahun 2002, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta bersama Koordinasi Proyek Pengendalian Banjir DKI telah melakukan indentifikasi terhadap potensi genangan yang rutin timbul apa bila hujan dan musin hujan datang. Setidaknya ada 78 titik rawan banjir rutin yang memerlukan upaya penanganan terpadu untuk membebaskan masyarakat Jakarta dari ancaman banjir.
Pembangunan sistem pematusan untuk pengendalian banjir seperti yang dibangun oleh Pemda DKI dengan bantuan dari Pemerintah Pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum untuk bisa mengatasi banjir di wilayah timur Jakarta sampai saat ini masih terkendala pada upaya pembebasan lahan. Dari total Rp. 5,1 triliun dana yang dibutuhkan untuk membangun sepanjang 23 km Banjir Kanal Timur (BKT), hampir Rp. 2,6 triliun lebih hanya dihabiskan untuk pembebasan lahan. Jika sistem BKT ini selesai, tanpa melalui pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi, Jakarta, khsusnya wilayah timur belum sepenuhnya bisa dibebaskan dari komplikasi masalah SDA yang ada.
Ancaman banjir, terutama setelah peristiwa banjir besar yang sempat melumpuhkan Ibu Kota Jakarta pada bulan Februari 2002, merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Pemda DKI Jakarta. Wilayah Jabodetabek mengalami total kerugian akibat banjir besar tersebut tercatat mencapai angka Rp. 9,9 triliun, dan angka ini belum termasuk perhitungan kerugian banjir yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya. Bisa dibayangkan kerugian yang diperoleh masyarakat setiap tahunnya akibat bencana banjir apabila tidak segera dilakukan upaya penanganan terpadu dan menyeluruh.
Karena pembangunan saluran pengendali banjir yang ada masih belum dapat mengatasi masalah banjir secara menyeluruh dan berkelanjutan. Sudah saatnya Pemda DKI Jakarta membuat terobosan dalam upaya penanganan banjir secara terpadu dan menyeluruh dalam suatu konsep pengelolaan SDA terintegrasi seperti yang sudah dilakukan di kota-kota besar di luar negeri seperti Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo, Milwaukee, Chicago, Boston, dan Altlanta[ 2, 4, 13].
2.2 KELANGKAAN AIR BAKU & CAKUPAN PELAYANAN
Penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan standar pelayanan merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh Pemda DKI Jakarta dewasa ini. Sistem pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan yang senjak tahun 1998 dipercayakan oleh Perusahan Air Minum (PAM) DKI Jaya kepada dua mitra swasta asing PT. PAM Lyonnaise Jaya atau PALYJA (untuk wilayah barat) dan PT. Thames PAM JAYA (untuk wilayah timur) sampai saat ini baru mampu melayani 44% dari total jumlah penduduk Jakarta. Kondisi pelayanan yang terkait dengan kualitas, kuantitas, kontinuitas dan tekanan air masih mendominasi keluhan atau komplain dari masyarakat pelanggan Palyja dan TPJ [2].
Dua faktor yang menyebabkan keterbatasan tersebut yang satu sama lain semakin memperburuk kinerja pelayanan air bersih di Jakarta adalah semakin tingginya tingkat inefisiensi (kebocoran) yang saat ini mencapai 50% lebih dalam bentuk kehilangan air (Uncounted for Water atau UFW) dan akibat semakin terbatasnya suplai air baku yang berasal dari sumber utama Waduk Serbaguna Jatiluhur (Gambar 1).
Berdasarkan perhitungan dari Badan Regulator Pelayanan Air Minum (BR-PAM) DKI Jakarta, defisit air baku terhadap total kebutuhan air bersih dalam 5 tahun terakhir sudah dalam keadaan yang sangat mengkuatirkan. Untuk tahun 2005 saja, total air bersih yang harus diproduksi dari seluruh instalasi produksi yang masih beroperasi (7 instalasi) adalah sebesar 25,8 m3/dt sementara suplai air baku yang tersedia rata-rata 14,6 m3/dt. Defisit air baku tahun 2005 sebesar 11.2 m3/dt akan terus meningkat disebabkan adanya kecenderungan turunnya kemampuan Waduk Jati Luhur dalam mengalirkan air baku melalui Saluran Tarum Barat yang berjarak ± 70 km dari Jakarta akibat semakin tingginya kebutuhan air untuk keperluan pertanian, perkotaan dan industri di sepanjang saluran Tarum Barat/Kali Malang serta akibat perubahan iklim dan tataguna lahan pada wilayah tangkapan air (catchment area) Waduk Jatiluhur, Cirata dan Sanguling di bagian hulu.


Kondisi dan keberlanjutan suplai air bersih dari luar wilayah Jakarta dalam perjalanan waktu terus mengalami perubahan baik secara teknis akibat penurunan debit (mata air Ciburial-Bogor sebagai contoh) maupun akibat perubahan orientasi politik dan ekonomi dalam era otonomi daerah dewasa ini, seperti yang terjadi dengan kasus pengurangan suplai air curah dari PDAM Kabupaten Tangerang pada awal tahun 2007 ini.
Kondisi ini haruslah menjadi pertimbangan dalam rencana pengembangan dan peningkatan sistem pelayanan air bersih di masa yang akan datang. Karena daerah-daerah seperti Bogor dan Tangerang akan terus berkembang dan akan terus lebih membutuhkan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan di wilayah mereka. Karena dalam menghadapi kecenderungan perubahan ekologi akibat aktifitas manusia dan gangguan siklus hidrologi akibat adanya perubahan iklim global yang mengancam ketersediaan air, tentunya sistem penyediaan air bersih yang saat ini ada dan belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan di daerah-daerah tersebut di waktu yang akan datang tentunya akan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan di daerah tersebut.

2.3 PENANGANAN LIMBAH CAIR
Sebagai kota metropolitan, Jakarta saat ini belum memiliki Sistem Penanganan Air Limbah (wastewater treatment system) perkotaan yang memenuhi standar kesehatan lingkungan. Fasilitas penanganan limbah cair yang merupakan proyek percontohan bantuan Pemerintah Jepang pada dekade 80 dan 90-an untuk melayani Wilayah Setiabudi dan Tebet dengan memanfaatkan Waduk Pengendali Bajir Setiabudi hingga saat ini baru mampu melayani 2,8% dari total populasi dan wilayah yang ada [3]. Dari segi pilihan teknologi sistem pengolahan limbah cair tersebut masih sangat sederhana atau sudah ketinggalan zaman untuk sebuah kota metropolitan sebesar Jakarta.
Akibat rendahnya komitmen Pemda DKI maupun pemerintah pusat terhadap sektor air limbah, maka sampai saat ini sebagian besar limbah cair domestik yang dihasilkan masih terus dibuang ke saluran terbuka (sungai/kali/selokan) sehingga menyebabkan badan air penerima tersebut terus mengalami kontaminasi. Kondisi septic tank yang digunakan pada daerah yang sudah semakin padat juga sudah menyebabkan kontaminasi air tanah dangkal/sumur yang semakin mengkuatirkan. Tidak mengherankan hingga saat ini, kasus wabah penyakit yang disebabkan oleh penggunaan sumber air yang terkontaminasi masih terhitung tinggi di beberapa daerah di Ibu Kota Jakarta (PBHD-DKI, 2007).

2.4 PENGELOLAAN KUALITAS AIR PERMUKAAN
Kualitas 13 sungai yang melewati wilayah DKI Jakarta dari waktu ke waktu terus mengalami pencemaran oleh buangan rumah tangga dan industri. Program perbaikan kualitas sungai melalui Program Kali Bersih (Prokasih) pada awal tahun 90-an yang kemudian terhenti karena krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia ternyata tidak mampu memenuhi target yang ditetapkan. Akibat perubahan kualitas air yang sangat signifikan tersebut, bisa dipastikan bahwa hampir tidak ada sungai-sungai dalam kota yang bisa dijadikan sumber air baku bagi PAM DKI. Beberapa instalasi pengolahan air bersih skala kecil (mini water treatment plant) yang pada awalnya menggunakan beberapa sungai yang ada di dalam kota sebagai sumber air bakunya sudah tidak dapat difungsikan lagi akibat jeleknya kualitas airnya serta semakin berkurangnya debit air, terutama selama musim kemarau.
Keinginan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, untuk mengembangkan wisata dan transportasi air tentunya akan terkendala akibat jeleknya kondisi kualitas sungai-sungai yang ada termasuk bantarannya. Disamping dibutuhkan komitmen yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat untuk tidak lagi menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan limbah (cair dan padat) tentunya diperlukan biaya yang sangat besar untuk bisa merestorasi untuk memulihkan kembali kondisi dan kualitas sungai-sungai tersebut.

2.5 PENGENDALIAN EKSPLOITASI & PENCEMARAN AIR TANAH

Karena redahnya cakupan layanan air bersih perpipaan yang tersedia disamping terkait dengan masalah tarif air minum, penggunaan air tanah dangkal, sedang dan dalam telah merupakan suatu fenomena umum yang tidak dapat dihindarkan. Karena tidak adanya jaminan dan kepastian pelayanan air bersih yang diberikan oleh PAM-Jaya melalui 2 mitra swastanya, terutama dalam segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas, beberapa institusi komersial (industri, perkantoran, hotel dan apartemen) melakukan pengambilan (ekstraksi) air tanah dalam dengan menggunakan sistem pemompaan dalam kapasitas yang relatif besar yang dapat berakibat terganggunya ketersediaan dan keseimbangan air tanah untuk mendukung fungsi ekosistem yang ada.
Sebagaimana diketahui, penurunan muka air tanah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan muka tanah di wilayah Jakarta. Abidin dan kawan-kawan (2002) menemukan bahwa dari hasil pemantauan dengan menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System) yang dilakukan secara berkala dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 pada beberapa tempat di wilayah DKI Jakarta, ditemukan terjadi penurunan muka tanah secara signifikan dengan kecepatan yang bervariasi. Dari hasil pemantauan tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2 di atas, diketahui bahwa daerah yang cukup besar terjadi penurunan muka tanahnya adalah di daerah Kapuk dengan kecepatan 10 cm/tahun dan di daerah Marunda yang mencapai 9 cm/tahun. Gambar 2 Kecepatan Penurunan Muka Tanah di Jakarta berdasarkan Data GPS”]

Akibat tingkat ekstraksi air tanah yang berlebihan tersebut, yang melebihi kemampuan pengisian kembali (recharge) secara alami, masalah ekologi yang sedang berlangsung adalah terjadinya kencerungan penurunan muka air tanah secara drastis yang berakibat pada penurunan elevasi permukaan tanah pada beberapa daerah di Jakarta (Tabel 1) dan pergerakan signifikan intrusi air laut dari utara ke selatan [7
Penurunan permukaan tanah ini dapat menyebabkan potensi volume dan permukaan genangan air pada musim hujan (banjir) bertambah secara signifikan. Sedangkan pada saat musim kemarau, karena perubahan tekanan hidrolis pada sistem geohidrologis air tanah di wilayah dekat pantai dan akibat tingkat ektraksi air tanah sedang dan dalam yang sangat tinggi, intrusi air laut bergerak dengan sangat cepat dari utara ke arah selatan bahkan sudah hampir mencapai wilayah Jakarta Selatan.
Sementara itu, khususnya pada air tanah dangkal karena belum tersedianya sistem penangan limbah cair yang memenuhi persyaratan sanitasi, sebagian besar air tanah di wilayah DKI Jakarta tercemar oleh limbah cair rumah tangga yang terlihat dari indikasi kandungan Fecal Coli Form yang sangat tinggi [7&9]. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh BPLHD DKI Jakarta pada tahun 2004 dan 2005 menunjukkan bahwa 67% dari sumur yang dipantau mengandung bakteri coliform dan 58% diantaranya mengandung fecal coli melebihi baku mutu.

2.6 PENANGANAN MASALAH KEMACETAN LALU LINTAS
Kemacetan lalu lintas di Kota Jakarta meningkat semakin parah seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor (7,77 juta unit) sementara panjang ruas jalan tidak terlalu berubah (27.340 km per-2006). Kondisi ini diperparah lagi oleh semakin tidak berfungsinya sistem saluran drainasi kota yang jika hujan turun dalam intensitas normal sekalipun selalu menimbulkan genangan air yang membuat lalu lintas lumpuh.
Potensi kerugian besar yang terakumulasi akibat kondisi kemacetan lalu lintas yang semakin parah tersebut pada prinsipnya dapat dihitung. Kerugian tersebut diantaranya adalah pemborosan pemakaian bahan bakar fosil yang semakin langka dan mahal, gangguan kesehatan dan kenyamanan akibat pencemaran udara oleh emisi kendaraan bermotor, ausnya perangkat mekanikal dan elektrikal kendaraan. Tidak kurang pentingnya adalah kerugian karena hilangnya waktu produktif (opportunity loss) masyarakat, berkurangnya waktu berharga bersama keluarga serta peningkatan ketegangan (stress) selama di perjalanan.
Tingginya angka perjalanan di Jakarta membuat ruas-ruas jalan tertentu mendapat beban yang terlampau berat jauh di atas normal. Penelitian di 34 titik jalan arteri di Jakarta yang dilakukan Departemen Perhubungan RI pada tahun 2000 menunjukkan ada 32 titik (94%) ruas jalan arteri di Jakarta yang melebihi kapasitas. Artinya, tak ada jalan arteri di Jakarta yang bebas dari macet.
Peringatan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Japan for International Cooperation Agency (JICA) dan the Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) pada tahun 2002 mengatakan bahwa tanpa upaya signifikan dalam membenahi sistem transportasi, khususnya sistem transportasi publik di Jakarta, maka sistem lalu lintas di Jakarta akan mati menjelang tahun 2014. Peringatan ini adalah sangat beralasan sekali, karena pertambahan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta setiap tahunnya mencapai angka 11% sementara pertambahan panjang ruas jalan hanya kurang dari 1%.
Data dari Ditlantas Polda Metro Jaya tahun 2006 mengungkapkan bahwa jumlah kendaraan yang tercatat di DKI Jakarta mencapai 6.506.244 unit, yang terdiri dari 1.816.702 unit jenis mobil penumpang, 503.740 unit mobil barang, 315.896 unit bus, dan 5.136.896 unit sepeda motor. Pertambahan yang paling luar biasa adalah sepeda motor karena dipacu oleh adanya kemudahan kepemilikan dari produsen kendaran tersebut.
Jumlah 7,77 juta unit kendaraan bermotor tersebut diperkirakan akan melepaskan total emisi pencemar ke udara sebanyak 30.000 ton setiap tahunnya. Data & Analisis Koran Tempo (17 Maret 2006) mengungkapkan bahwa setidaknya paling sedikit ada sebanyak 140 pengajuan STNK baru di Jakarta. Artinya setidaknya Jakarta membutuhkan tambahan panjang jalan sedikitnya 800 m setiap tahunnya untuk dapat mengantisipasi pertambahan jumlah kendaraan baru tersebut





 Gambar 3 Kondisi Rutin Kemacetan Lalu Lintas Hampir Setiap Hari di Metropolitan Jakarta

Pola Transportasi Makro (PTM) yang dibuat dengan perjuangan panjang oleh Pemprov DKI Jakarta, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bencana besar di sistem lalu lintas Jakarta yang diprediksikan tahun 2014 tersebut. PTM fokus pada penataan sistem layanan transportasi publik yang direncanakan akan memadukan setidaknya empat sistem transportasi umum yang banyak dipakai di kota-kota metropolitan/megapolitan di dunia; yaitu angkutan bus cepat menggunakan jalur khusus (busway), angkutan kereta ringan rel tunggal (monorel), angkutan menggunakan jaringan mass rapid transit (MRT), dan jaringan angkutan air. Untuk menciptakan sistem lalu lintas yang tertib terkendali, rendah tingkat polusi udara (healthy) dan kecelakaan (safety), serta memberikan kenyamanan yang mendorong masyarakat mengurangi penggunaan kendaran pribadi di Jakarta, PTM terpadu ini diharapkan sudah mulai beroperasi penuh pada tahun 2010.
Apapun pilihan moda transportasi yang akan dikembangkan di Jakarta, disamping masalah sumber pendanaan, ketersediaan lahan akan tetap merupakan tantangan yang tidak mudah bagi Pemprov. DKI Jakarta. Hal yang sama juga dihadapi oleh kota-kota besar lain di dunia. Sehingga konsep membangun infrastruktur vertikal ke atas (jalan layang berlapis) dan ke bawah (subway dan atau jalan bawah tanah) merupakan alternatif pilihan yang tidak dapat dihindari bagi pengelola kota-kota besar di dunia. Karena dapat dipastikan alam terbatas untuk dapat dikembangkan (ditambah), sementara jumlah manusia terus bertambah dari waktu ke waktu. Sehingga pilihan ada pada manusia untuk mengembangkan kreatifitas dan kemampuan ilmu pengetahuan dalam upaya mencari inovasi untuk penyelesaian masalah yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

2.7 MASALAH PEMBEBASAN
Dalam kaitannya dengan permasalahan pengelolaan SDA tersebut di atas, beberapa upaya pemecahan masalah secara parsial telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, khususnya untuk mengatasi masalah banjir maupun untuk mendapatkan kualitas air baku yang baik, terutama pada musim kemarau, tetapi belum menunjukan hasil yang diharapkan karena terbentur pada banyak kendala (teknis, politis, sosial dan pembiayaan). Pembangunan Bajir Kanal Timur (BKT) masih mengalami hambatan yang serius terutama disebabkan masalah pembebasan tanah dan keterbatasan anggaran yang tersedia.
Untuk pembangunan KBT saja, pemerintah daerah maupun pusat menganggarkan sekitar Rp. 5,5 Triliun. Biaya pembebasan lahan saja membutuhkan 51% lebih dari total biaya pembangunan proyek pengendali banjir untuk sebagian wilayah timur Jakarta tersebut. Sama seperti masalah yang dihadapi oleh proyek infrastruktur lainnya, kebutuhan uang yang sangat signifikan besar untuk pembebasan lahan diperparah lagi oleh hambatan sosial dan politik di lapangan, sehingga memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Presiden (Perpres) RI No. 36 tahun 2005 tentang Pembebasan Lahan untuk Keperluan Pembangunan Infrastruktur Publik. Sekalipun Perpres ini sudah direvisi (Perpres 65 tahun 2006), instrumen regulasi ini belum juga mampu mengatasi masalah pembebasan lahan yang dibutuhkan dan akan selalu menjadi kendala utama dalam pembangunan infrastruktur di daerah perkotaan khususnya.
Dari penjelasan data-data diatas dapat dikatakan bahwa biaya terbesar dalam melaksanakan proyek tersebut maupun dalam melakukan usaha-usaha penanggulangan banjir lebih didominasi oleh biaya pembebasan tanah, terutama akibat spekulasi yang timbul dari pemilik maupun spekulan. Selain itu juga perlu disadari bahwa penangan secara parsial dalam penangan banjir, air baku, limbah cair, perbaikan kualitas sungai dan pengisian kembali air tanh tidak dapat menyelesaikan masalah krisis sumber daya air yang dihadapi oleh Jakarta.

III. IUWRM DAN KEBUTUHAN INOVASI TEKNOLOGI
Hingga saat ini, upaya pemecahan terhadap masalah-masalah tersebut di atas yang selama ini dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta pada dasarnya masih bersifat reaktif terhadap kasus-kasus yang timbul dengan pendekatan penangannya yang bersifat partial dan sektoral baik dari segi perencanaan maupun pembiayaan. Faktor krusial lainnya adalah keterbatasan pendanaan karena diperlukan biaya investasi yang sangat tinggi terutama untuk pembebasan lahan, khususnya pembangunan infrastruktur perkotaan.
Dalam menghadapi serba keterbatasan dan berbagai kendala dalam pengelolaan sumber daya air tersebut, tentunya pengembangan dan sekaligus implementasi dari konsep pengelolaan sumber daya air perkotaan secara terpadu (Integrated Urban Water Resources Management/IUWRM) merupakan pilihan yang paling strategis untuk mengantisipasi komplikasi masalah yang sedang dihadapi maupun untuk mengantisipasi tantangan dalam pengelolaan SDA perkotaan ke depan. Dalam implementasinya IUWRM tentunya tidak bisa dipisahkan dengan Integrated Water Resources Management (IWRM) yang akan mencakup integrasi pengelolaan mulai dari daerah hulu sampai ke hilir.
IUWRM adalah suatu proses perencanaan dan implementasi yang bersifat partisipatif dalam upaya pengelolaan SDA dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam upaya mencapai tujuan jangka panjang dari pemanfaatan dan sekaligus untuk pengendalian daya rusak SDA di daerah perkotaan. Beberapa komponen strategis dari IUWRM diantaranya adalah;
•    Optimasi Suplai; termasuk analisa suplai dari air permukaan dan air tanah, neraca air, pengolahan air limbah dan penggunaan kembali air hasil olahan (wastewater reclamation and reuse), dan optimasi pemanfaatan air hujan (rain water harvesting) .
•    Pengelolaan Kebutuhan dan Efisiensi; termasuk diantaranya kebijakan alokasi suplai untuk berbagai keperluan, kebijakan pemulihan biaya (cost recovery), dan pengembangan teknologi yang efisien untuk menjamin pemenuhan kebutuhan jangka panjang.
•    Kesetaraan Akses dan Kebijakan Tarif terhadap sumber daya air melalui prinsip pengelolaan yang transparan dan partisipatif, kebijakan harga/tarif (water tariff and pricing) yang terjangkau oleh lapisan masyarakat yang kurang mampu yang tentunya mendukung prinsip konservasi dan pemulihan biaya dan investasi.
•    Kerangka Institutional dan Regulator yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas secara independen dalam mengatur dan menjamin prilaku dan kepentingan stakeholder dengan pendekatan multimedia approach terhadap pengelolaan SDA perkotaan secara terpadu dan berkelanjutan.
•    Pendekatan Lintas Sektor; termasuk dalam pengaturan dan pengelolaan peran stakeholder SDA perkotaan mulai dari air permukaan, air tanah, limbah cair, dan institusi yang bertanggungjaab dalam upaya pengendalian banjir yang satu sama lain memiliki keterkaitan. Pendekatan lintas sektor ini harusnya juga mencakup pengelolaan komunikasi dengan sektor lain dalam rangka optimasi penanganan masalah seperti dengan sektor transportasi kota dan dinas kebersihan.
Untuk mengatasi permasalahan yang ada serta untuk menghadapi tantangan ke depan dengan segala kendala yang ada, keterpaduan dan inovasi dalam penanganan masalah lingkungan di perkotaan sudah merupakan suatu keharusan. Lambat atau cepat, konsep dan strategi pembangunan infrastruktur perkotaan bagi Metropolitan DKI Jakarta secara vertikal ke atas dan ke bawah merupakan salah satu solusi untuk menghadapi masalah keterbatasan lahan di daerah perkotaan merupakan satu-satunya pilihan yang tersisa dalam upaya pembangunan infrastruktur perkotaan ke depan. Implementasi konsep pengelolaan sumber daya air perkotaan secara terpadu atau IUWRM bersamaan dengan pengembangan inovasi teknologi diharapkan akan mampu mengatasi masalah terkait dengan pengelolaan SDA di perkotaan ke depan seperti yang sedang dan akan terus dihadapi oleh DKI Jakarta bersama dengan kota-kota atau wilayah penyanggahnya (Bodetabek).

IV. INTEGRASI PENYELESAIAN MASALAH MELALUI INOVASI SISTEM DAN TEKNOLOGI
Kompleksitas dan akumulasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh Pemda DKI Jakarta terutama dalam upaya mewujudkan Jakarta menjadi livable city serta target Milleneum Development Goals (MDG) 2015 membutuhkan pendekatan yang terpadu dan simultan dalam rangka efektifitas dan efisiensi sumberdaya yang dimiliki. Untuk itu diperlukan suatu langka inovasi dalam upaya mengoptimalkan perencanaan (biaya) untuk bisa menyelesaikan masalah secara simultan tampa terkendala oleh masalah klasik yang melelahkan yaitu masalah pembebasan tanah. Konsep inovasi tersebut adalah dengan mencotoh pada beberapa best practices di luar negeri yang bisa diadopsi dan dikembangkan untuk pengelolaan secara efektif dan efisien terhadap SDA dan sekaligus untuk upaya penanganan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia.
Integrasi pengendalian banjir dengan memanfaatkan sistem pengendali banjir sebagai sarana penampung atau pemanfaatan kelebihan air bersamaan dengan dengan sistem pengumpul dan penyaluran limbah cair perkotaan (domestic wastewater) untuk alternatif sumber air baku bagi sistem penyediaan air bersih perkotaan dengan sekaligus terkait dengan upaya perbaikan sanitasi lingkungan serta upaya restorasi kualitas air permukaan dan air tanah sudah merupakan keharusan bagi Kota Jakarta.
Memanfaatkan potensi genangan pada saat atau musin hujan bersama upaya recycle limbah cair perkotaan serta terkait dengan upaya mengoptimalkan sistem neraca air (water balance) yang berkelanjutan (untuk dapat menjamin pemenuhan kebutuhan air bersih) dan sistem sanitasi lingkungan yang baik haruslah menjadi bagian esensial dari rencana pengembangan kota masa depan yang bewawasan lingkungan (green city).

4.1 MULTI PURPOSES DEEP TUNNEL (MPDT) SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI
Dengan melihat kompleksitas permasalahan yang dihadapi, khususnya dalam upaya pengelolaan SDA, bersamaan dengan keterbatasan dana dan ketersediaan lahan, demi efektifitas dan efisiensi pemecahan masalah, diperlukan upaya penanganan secara menyeluruh dan terintegrasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Salah satu solusi menyeleruh dan terintegrasi yang pada dasarnya tidak terkendala pada upaya penyediaan dan pembebasan lahan adalah dengan membangun suatu sistem terowongan bawah tanah multiguna yang dikenal sebagai MPDT atau Multi Purpose Deep Tunnel (Gambar 4).
Gambar 4 Skema Multi Purpose Deep Tunnel Jakarta

MPDT sebagai salah satu emerging solution dalam konteks IUWRM pada dasarnya adalah merupakan suatu sistem teknologi terowongan dan reservoir air bawah tanah yang secara terintegrasi untuk dapat mengatasi masalah banjir, kelangkaan air baku, penanganan limbah cair perkotaan, manajemen dan konservasi air tanah yang dipadukan dengan upaya penanganan kemacetan lalu lintas serta sekaligus untuk dapat memperbaiki kembali (restorasi) kondisi kualitas sungai-sungai yang mengalami pencemaran berat oleh limbah cair di daerah perkotaan padat penduduk seperti DKI Jakarta.
Dalam konteks IUWRM yang juga mengintegrasikan optimasi pemanfaatan ruang dan lahan yang semakin terbatas di daerah perkotaan seperti Jakarta, pengembangan konsep dan implementasi MPDT di DKI Jakarta diharapkan untuk mampu mengatasi:
1.    Masalah atau ancaman banjir di wilayah Metropolitan DKI Jakarta secara terintegrasi dengan tidak terkendala dengan masalah pembebasan lahan.
2.    Secara simultan dan cost effective dalam pengelolaan limbah cair perkotaan dari berbagai aktifitas domestik/rumah tangga yang belum ditangani oleh Pemda DKI hingga saat ini.
3.    Secara simultan mengatasi masalah kelangkaan air baku yang tengah dihadapi oleh PAM Jaya terutama menghadapi tantangan jangka menengah dan jangka panjang untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di Jakarta melalui proses daur ulang limbah cair yang diolah bersamaan dengan cadangan air hujan yang ditampung pada MPDT.
4.    Secara simultan dan bertahap memperbaiki (restorasi) kualitas air permukaan/sungai-sungai utama yang ada di DKI Jakarta yang tercemar oleh limbah cair dan padat.
5.    Secara terintegrasi pada keadaan tidak banjir, dapat difungsikan sebagai jalan tol bawah tanah untuk dapat membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dalam wilayah kota dan sekaligus dalam rangka mengoptimalkan investasi dan pemulihan biaya.
6.    Sicara simultan dan bertahap memperbaiki dan meningkat kualitas air tanah dalam rangka konservasi air tanah dan pencegahan penurunan permukaan (land subsidence) dan sekaligus untuk pengendalian ancaman intrusi air laut.
Kendatipun MPDT membutuhkan biaya investasi yang relatif tinggi tetapi akan sangat bermanfaat dan berguna untuk jangka panjang terutama bila dikaitkan pada upaya penanganan masalah secara terpadu dalam upaya pengelolaan SDA dan untuk pananganan kemacetan lalu lintas di masa depan. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa kerugian material yang terjadi setiap tahunnya akibat kemacetan lalu lintas, akibat banjir maupun masalah yang timbul karena semakin terbatasnya ketersediaan air baku dan konflik yang timbul dalam pemanfaatan sumber-sumber air dapat dialihkan atau dikompensasikan untuk pembangunan MPDT ini bersamaan dengan upaya memperbaiki sistem sanitasi lingkungan melalui penanganan limbah cair perkotaan yang selama ini hanya dilakukan secara parsial.
Lebih jauh lagi, keterlibatan sektor swasta melalui kerangka kerjasama investasi dan pengelolaan MPDT untuk sarana jalan tol bawah tanah, pemanfaatan air baku, pengelolaan limbah cair dengan berbagai produk akhir yang mempunyai nilai ekonomi merupakan keunikan dari sistem ini dibandingkan dengan sistem infrastruktur perkotaan lainnya.

4.2 PRINSIP DAN MEKANISME KERJA MPDT
MPDT terdiri dari 2 komponen yang berfungsi sebagai penyaluran (sekaligus sarana jalan tol) dan sarana penyimpanan dan penyaluran air hujan maupun limbah cair untuk diolah sebelum dibuang atau dimanfaatkan sebagai alternatif sumber air baku. Komponen pertama adalah saluran di bawah tanah (deep tunnel) pada kedalaman 25 sampai 45 m dengan diameter yang relatif besar (10-15 m). Deep Tunnel ini juga dilengkapi dengan saluran vertikal (vertical shaft) yang akan membawa air dari beberapa daerah potensi genangan pada saat hujan turun dan saluran horizontal yang membawa air limpasan menuju reservoir bawah tanah atau dibuang lansung ke laut pada saat musim banjir dengan sistem pemompaan pada daerah hilirnya. Saluran ini terbuat dari pasangan beton kedap air dengan pertimbangan disain terhadap kondisi geologi dan sifat tanah sekitarnya.

Gambar 5 Potongan Melintang Multi Purpose Deep Tunnel Jakarta

Seperti terlihat pada Gambar 5, dalam keadaan normal dimana tidak ada banjir, terowongan yang terdiri atas 3 (tiga) lapisan (layer) tersebut akan difungsikan sebagai sarana jalan tol bawah tanah untuk bagian atas dan tengah dengan pembagian arah yang berbeda untuk setiap lapisnya. Sementara lapisan bagian bawah (dasar terowongan) akan sepenuhnya berfungsi sebagai saluran air dan tempat saluran limbah cair (sewerage pipes) yang terpisah untuk menjaga kontaminasi dari limbah cair.
Komponen kedua adalah reservoir di bawah tanah itu sendiri. Reservoir ini didisain dengan kapasitas relatif besar untuk mampu menampung limpasan air atau genangan yang terjadi akibat hujan atau curah hujan tinggi bersamaan dengan akumulasi limbah cair perkotaan dalam hitungan debit harian. Reservoir bawah tanah kedap air ini juga didisain dengan mempertimbangkan faktor keamanan yang tinggi terhdap resiko runtuh (colaps) akibat beban dan getaran atau pergerak tanah (earthquake).
Sistem saluran ini pada beberapa titik akan bertemu dengan saluran air limbah (sewerage network) yang biasanya dalam bentuk combine sewer overflow (CSO) untuk kemudian menuju ke reservoir utama di bawah tanah. Suatu yang sangat unik dari kombinasi CSO dengan MPDT ini dibandingkan dengan sistem konvensional adalah, bahwa sistem ini dapat mengeliminasi atau menghilangkan sebagian besar kebutuhan sistem pemompaan berupa pumping station dalam sistem penyaluran limbah cair dari sumbernya menuju ke tempat penampungan dan pengolahan akhirnya. Karena semua limbah cair dialirkan secara gravitasi dan tentunya akan menghemat secara signifikan dalam biaya investasi (capex) dan operasinya (opex). Dalam pengoperasian dan pemeliharaannya sistem MPDT untuk sistem penyaluran limbah cair juga tidak akan mengganggu aktifitas rutin (transportasi) perkotaan dipermukaan tanah, karena semua aktifitas O & M berlansung di bawah tanah dalam terowongan.
Lumpur endapan pada reservoir bawah tanah dan lumpur dari hasil reklamasi dan pengolahan air baku selanjutnya diolah secara proses biologis untuk stabilisasi sifat fisik dan kimiawinya untuk kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi pupuk organik (biosolid) untuk keperluan pertanian. Dari hasil pengolahan lumpur secara anaerobic juga akan dapat dihasilkan gas methan (CH4) sebagai sumber bioenergi yang dapat digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik untuk keperluan operasional MPDT.
Dari aspek penyediaan air baku, ketergantungan Jakarta terhadap (fluktuasi) suplai air baku dari luar Jakarta bersamaan dengan upaya terintegrasi dalam mengatasi masalah banjir, konservasi air tanah dan menciptakan kondisi sanitasi lingkungan yang lebih baik dapat dicapai secara efektif, efisien dan simultan dengan pemanfaatan MPDT. Sehingga ketergantungan Jakarta terhadap pasokan air baku maupun air curah dan mata air dari sumber-sumber yang berada di luar Jakarta dapat diminimalkan secara bertahap bersamaan dengan upaya konservasi SDA secara terintegrasi dan berkelanjutan.





 Dari hasil perhitungan sementara berkaitan dengan proyeksi kebutuhan air baku untuk Metropolitan Jakarta, secara makro terlihat bahwa defisit air baku sebesar 11,028 l/dt pada tahun 2010 akan terus membengkak menjadi 39,008 l/dt pada akhir tahun 2025. Defisit ini dapat diatasi dengan memanfaatkan potensi air hujan bersamaan dengan upaya pengolahan (reklamasi) kualitas limbah cair perkotaan yang harus juga ditangani untuk menciptakan kondisi sanitasi lingkungan yang lebih baik.
Dari aspek konservasi air tanah, kemampuan MPDT dalam mencukupi kebutuhan air baku PAM Jaya akan memungkinkan regulasi pembatasan eksploitasi air tanah dapat diimplementasikan dengan optimum. Kawasan kota yang merupakan daerah rawan air dan kondisi kualitas dan kuantitas air tanah dalam kondisi kritis seperti kawasan Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat bagian utara dan Jakarta Timur bagian utara mendapat prioritas utama untuk kebijakan pembatasan secara ketat eksploitasi air tanah melalui strategi pemenuhan 100% cakupan layanan air bersih perpipaan. Dengan demikian upaya pengendalian turunnya muka air tanah yang menyebabkan turunnya muka tanah (land subsidence) dan intrusi air laut di kawasan tersebut dapat dicapai secara sistematis dan sistemik.
Lebih jauh lagi, dalam sistem operasinya, MPDT dilengkapi dengan sistem monitoring dan sistem perlengkapan untuk menjamin faktor keamanan dan keselamatan yang tinggi untuk menjamin keselamatan dan keamanan MPDT untuk dapat digunakan sebagai sistem pengendali banjir dan sarana jalan tol bawah tanah. Perlengkapan sistem radar cuaca pada daerah hulu DAS Ciliwung yang terhubung dengan sistem satelit pemantau cuaca yang dapat memperhitungkan secara tepat dan cepat kapan terowongan harus dikosongkan untuk mengantisipasi datangnya banjir merupakan bagian yang esensial dari sistem MPDT ini.
Sistem ventilasi yang menjamin teciptanya udara segar dengan kandungan oksigen (O2) yang cukup dan untuk mengeluarkan emisi buangan kendaraan bermotor (CO dan CO2) setiap saat merupakan faktor utama keamanan dan kenyamanan dalam penggunaan MPDT sebagai sarana jalan tol bawah tanah disamping fitur-fitur perlengkapan telekomunikasi dalam keadaan darurat (emergency). Belajar dari pengalaman pengoperasian Stormwater Management and Road Tunnel (SMART) Kuala Lumpur yang sudah dioperasikan mulai bulan Juli 2007 lalu, maka ramp untuk keluar dan masuk (ingress dan egress) kendaraan dibuat sedemikian rupa dengan mempertimbangkan kebutuhan dan faktor psikologis pengguna jalan tol bawah tanah.

IV. PENUTUP
Melihat kompleksitas yang ada serta tantangan masa depan, diperlukan adanya suatu sistem penyelesaian yang bersifat inovatif, menyeluruh dan terintegrasi untuk bisa mengatasi permasalahan serius dalam pengelolaan sumberdaya air yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia seperti yang sedang dihadapi oleh Jakarta, khususnya dalam mengatasi masalah banjir; kelangkaan air baku; peningkatan kebutuhan terhadap air bersih; penanganan limbah cair; eksploitasi dan pencemaran terhadap air tanah serta upaya pengendalian intrusi air laut; perbaikan kualitas air permukaan; dan upaya penanganan kemacetan lalu lintas dalam kota.
Pengembangan dan aplikasi konsep “green infrastructure“ dengan memanfaatkan ruang vertikal ke bawah untuk mengatasi masalah perkotaan sudah merupakan keharusan dalam rangka memperkecil resiko dan biaya dalam pembebasan lahan khususnya. Maksud dari pengembangan konsep desain MPDT ini adalah untuk mencarikan pemecahan terhadap masalah terkait dengan pengelolaan SDA dan penanganan beban kemacetan lalu lintas di daerah perkotaan secara terintegrasi, efektif dan efisien. Inovasi teknologi konstruksi dalam bentuk sistem MPDT ini akan semakin diperlukan apabila berhadapan dengan keterbatasan lahan serta kesulitan yang timbul dalam membebaskan lahan di daerah perkotaan.
Kendatipun MPDT membutuhkan biaya investasi yang relatif tinggi tetapi akan sangat bermanfaat dan cost efective untuk jangka panjang terutama bila dikaitkan pada upaya penanganan masalah secara terpadu dalam upaya pengelolaan SDA di masa depan. Seperti terlihat pada Lampiran I (Table 1.1), tidak seperti sistem pengendali banjir lainnya, MPDT diharapkan mampu menghasilkan pemasukan (revenue) yang dibutuhkan untuk biaya operasi dan pemeliharaan dan sekaligus untuk pengembalian biaya investasi (capex) yang berasal dari revenue jalan tol, penjualan air baku, retribusi limbah cair, produksi gas metan dan pupuk organik (biosolids).
Terkait dengan efektifitas MPDT dalam menyelesaikan masalah pengelolaan SDA dan kemacetan lalu lintas secara terpadu, pada Lampiran I (Tabel 1.2) dapat dilihat matriks komparasi efektifitas dan efisiensi MPDT dengan teknologi lain, terutama dalam beberapa aspek penting yang senantiasa mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah maupun investor untuk menentukan pilihan teknologi mana yang akan diambil.
MPDT merupakan konsep mega infrastruktur baru bagi dunia konstruksi Indonesia, terutama terkait dengan teknologi konstruksi bawah tanah berupa pembangunan terowongan dengan ukuran besar secara horizontal dengan menggunakan teknologi TBM. Akan banyak alih teknologi dan pengembangan kreatifitas yang akan terjadi dan harus menjadi bagian esensial dari pengembangan kapasitas para insinyur kita dalam memajukan teknologi dan dunia konstruksi bagi kepentingan strategis bangsa di masa depan. Sebagai contoh, pembangunan SMART di Kuala Lumpur, peran insinyur lokal dan dunia usaha konstruksi lokal adalah sangat dominan dan mereka berhasil melakukan alih teknologi dengan sangat baik. Pertanyaan yang tersisa bagi kita semua adalah apakah kita akan larut dengan upaya pencarian solusi secara parsial dengan berbagai kendala yang tidak mampu kita atasi atau menjadi kreatif dan inovatif dalam mengintegrasikan pemecahan masalah?



DAFTAR PUSTAKA
1. Abidin, H.Z., R. Djaja, D. Darmawan, H. Rajiwirjono, D. Muhardiono, M. A. Kusuma and C. Subarya: Studying Land Subsidence of Jakarta and Bandung using GPS Survey Method. Presented paper in the 6th Asean Science & Technology Week, Brunei Darussalam 12 – 21 Sept. 2001.
2. Ali, Firdaus. Suatu Konseptual Desain: Deep Tunnel Reservoir, Jakarta Green Plan 2020. Seminar Badan Regulator Pelayanan Air Minum Jakarta, Pan Sari-Pacific Hotel, Jakarta. 12 Desember 2005.
3. Asian Infrastructure Monthly. Deep Sewage Tunnel Project Take off. www. Janes.com., 2000.
4. Gurusinga, Djendam. Pengendalian Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya. Makalah Presentasi pada Diskusi Panel Manajemen & Pengendalian Banjir Jakarta, oleh INKINDO, Jakarta, 12 Maret 2002.
5. Hadi, P., A.B.S.M. Arsyad, Sumartoyo, J. Suryanta, Y. Wibisono and Sularsana. Kajian Keruangan Banjir di Kawasan Jakarta dan Sekitarnya. BAKOSURTANAL, 2002.
6. Kahar, Joenil. Pemanfaatan Data Spasial Bagi Penanggulangan Banjir. Presented paper in the Forum Sains dan Kebijakan Penanganan Bencana Banjir, Aula Barat Kampus ITB, 22 – 23 Maret 2002.
7. Kompas 20 Juni 2005. Air Tanah di Jakarta: Makin ke Utara Makin Tercemar. www. kompas.com
8. Michael A. Jones, Sally J. Harris, Keith M. Baxter and Malcolm Anderson. The Streatham Groundwater Source: An Analogue For The Development Of Recharge Enhanced Groundwater Resource Management In The London Basin. Thames Water Utilities Ltd., Reading, UK. 2005. 9.
9.Pasang, Haskarlianus. Jakarta Bebas Banjir dengan Manajemen Aliran Terpadu. Kandidat PhD pada Department of Civil and Environmental Engineering, University of Melbourne, Australia. Sebuah Artikel pada Harian Umum Kompas, 8 Maret 2005.
10.Rahardjo, Paulus P. Teknik Terowongan. Geotechnical Engineering Center, Universitas Katolik Parahiyangan-Bandung. 2006.
11.Siswoko. Strategi Baru Dalam Rangka Mengatasi Masalah Banjir. Suatu Diskusi Terbatas untuk Pejabat Struktural di Ditjen Pengairan, Jakarta, April 1994
12.Tee, Tan Boon and Weele, Brian Van. Design And Construction Of Sewer Tunnels Under The Deep Tunnel Sewerage System. Sewerage Department, Ministry of the Environment, Tunnel Paper ICTUS November 2000 E.doc
13.Theodore, Marry & Louis Theodore. Major Environmental Issues Facing the 21st Century. Prentice Hall PTR, New Jersey. 1996.
Firdaus Ali. Program Studi Teknik Lingkungan Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik-Universitas Indonesia.