Jumat, 25 Januari 2013

Jakarta kolam raksasa, Jakarta tenggelam ??..!!

Jakarta kolam raksasa , Jakarta tenggelam ? ?

16 September 2010, jalan RE Martadinata Jakarta utara ambrol, banyak orang berpendapat, banyak orang menganalisa, tetapi satu hal yang disepakati bahwa salah satu penyebab adalah penurunan tanah alias ambles.




Gedung2 sepanjang jalan Thamrin, contoh Gedung Sarinah yang dibangun oleh Presiden Soekarno th 1963, kini 50 tahun  kemudian sudah mengalami penurunan /ambles +/- 25 cm, dan ditengarai mulai mengalami akselerasi penurunan yg cepat sejak 10 tahun terakhir, artinya selama 10 tahun terakhir rata2 terjadi penurunan bangunan 2 – 2,50 cm pertahun. Dan bukan tidak mungkin percepatan penurunan semakin besar seiring dengan kondisi tanah yang semakin parah. Bahkan beberapa sumber menyebutkan diwilayah Jakarta utara penurunan sudah mencapai 18-26 cm pertahun
Banyak ahli mengatakan, kalau kita tidak merubah mainset kita terhadap lingkungan bukan tidak mungkin 25 tahun mendatang Jakarta “tenggelam”, bahkan kinipun kita sudah menyaksikan betapa banjir Jakarta Januari 2013, membuat Jakarta menjadi kolam raksasa, bahkan dampak dan tingkat sebarannya melampaui banjir Jakarta Februari 2007. Padahal tingkat curah hujan rata2nya tahun 2013 jauh dibawah tahun 2007.

Kondisi alam ibukota telah mencapai titik kronis, lantaran minimnya daerah resapan. Menurut WALHI, tiap tahun Jakarta defisit air tanah sebanyak 66,6 juta meter kubik. Ini diperparah dengan turunnya sebanyak 2000 juta meter kubik air hujan per tahun. Sementara air yang terserap kedalam tanah hanya 36% saja, sisanya terbuang ke selokan dan sungai. Inilah yang menyebabkan banjir tak pernah teratasi.
Mengapa ini terjadi?

BMKG dalam releasenya 23 Januari 2013 mengingatkan warga DKI waspada  banjir di sekitar akhir Januari 2013.
Kombinasi permukaan laut pasang , curah hujan tinggi dan “jenuhnya” tanah dan utilitas Jakarta akibat dihajar banjir 17 Januari 2013, membuat kita percaya bahwa peringatan tersebut realistis, tidak mengada-ada.




Faktor2 yang membuat Jakarta tenggelam adalah:
1.    Fakta geografi, bahwa Jakarta dibangun diatas lahan rawa  yang merupakan delta dipantai utara P Jawa, yang notabene permukaan tanahnya  maksimal sama tinggi dengan permukaan air laut.  Jakarta juga merupakan muara sungai2 dari kaki perbukitan disekitar Gunung Gede, Salak.

2.    Faktor Demografi, bahwa Jakarta sebagai sentral denyut jantung Negara mengalami perkembangan kependudukan begitu pesatnya, melampaui kemampuan daya tampungnya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat menuntut tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, meski kadang bahkan sering harus  “menantang” alam.

3.    Fakta sistim perencanaan kota yang terkesan semaunya sendiri, berdasarkan selera dan keinginan saja, tanpa memperhitungkan dampak 10, 20, bahkan 50 tahun kedepan.
Jakarta tidak memiliki Perencanaan Tata Ruang yang bervisi jauh kedepan, hanya berdasarkan kepentingan jangka pendek.

4.    Faktor Lingkungan, bahwa karena perencanaan kota yang seadanya, Jakarta mengidap penyakit kronis, yaitu tenggelam dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau. Rusaknya sistim drainase, lenyapnya situ-situ, menyempitnya alur sungai dan terkikisnya  Daerah Aliran Sungai ( DAS ) dan rusaknya daerah resapan air baik yang ada di Jakarta sendiri maupun didaerah diatasnya ditengarai menjadi penyebab serius situasi ini. Menjadi fakta, betapa lingkungan Jakarta mendorong Jakarta menjadi kolam raksasa.
5.    Faktor kedisiplinan dan kesadaran kita yang sangat rendah.
    Kesadaran membuang sampah yang sangat rendah berakibat saluran drainase mampat, sungai/selokan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa
    Kedisiplinan yang rendah berakibat, kita tidak pernah secara konskuen bersepakat untuk membuat dan mematuhi perilaku baik yang ramah terhadap lingkungan. Ini bisa dibaca, betapa Peraturan Pemerintah bisa dinegosiasi untuk dikompromikan demi kepentingan sesaat, terutama yang menyangkut tata ruang dan ekplorasi air tanah.

Jakarta sudah sejak lama sebenarnya sadar banjir, awal abad ke 7, Tarumanegara sudah mempunyai “project” penanggulangan banjir dengan membuat kanal2 sepanjang 11-12 km .
Selanjutnya VOC datang dan JP Coen membangun delta menjadi kota yang kemudian disebut Batavia dengan membuat “sodetan” pada 13 kali dan kanal.
Dikala itu Pemerintahan Kolonial Belanda menerapkan disiplin keras . Itu di lakukan karena disamping mereka memiliki “culture” bawaannya, juga relative penduduknya tidak sepadat sekarang, sehingga tentu saja mudah kontrolnya.
Seiring dengan perkembangan dan pergantian jaman, Indonesia menyatakan merdeka dan terbebas dari penindasan kolonial Belanda. Kita tidak mau ditindas dan diatur oleh orang asing, kita siap untuk mengurus diri sendiri dengan budaya sendiri.
Kini, 150 tahun kemudian Jakarta berubah menjadi kota megapolitan, Jakarta menjadi pusat urat nadi kehidupan bangsa.

Jakarta menjadi kota multi fungsi,  ya pusat pemerintahan ya pusat perdagangan  ya pusat industri, sekaligus ibukota Negara.    80% perputaran uang ada di Jakarta.
Betapa Jakarta menjadi maha magnet yang memiliki daya tarik luar biasa besarnya, baik warga sendiri maupun warga asing.
Segala apapun ada di Jakarta. Jakarta menjelma bukan saja menjadi kota megapolitan, tetapi sekali gus menjadi belantara beton.
Dulu di era 60-70 an, Jakarta disebut sebagai kampung raksasa, big village belantara hutan. Kini kampung raksasa itu menjelma menjadi belantara beton, yang hanya sedikit menyisakan ruang hijau terbuka.
Pembangunan infrastruktur tidak diimbangi dengan fasilitas utilitas yang memadai, ketidak seimbanganpun terjadi dan akibatnya bencana banjir sudah berulangkali diderita warganya.
Pertumbuhan pemukiman yang luar biasa memangsa area terbuka, bahkan sungai dan drainase menjadi merana.
Akibatnya Jakarta kehilangan kemampuan untuk menyerap air limpahan, air hujan, air produk aktifitas ekonomi dan rumah tangga menjadi air permukaan yang liar. Banjir dimusim hujan, dan kekeringan dimusim kemarau. Kondisi diperparah dengan air pasang /rob laut dan penurunan tanah akibat ekploitasi pembangunan.
Jakarta kehilangan daya serap karena 80% permukaan tertutup beton dan aspal.  Jakarta kehilangan kemampuan untuk captering air permukaan, disatu sisi, air tanah di Jakarta disedot habis-habisan, disisi lain Jakarta kehilangan kemampuan menyerap air permukaan untuk menambah cadangan air tanahnya.
Itulah mengapa banjir daan kekeringan serta penurunan tanah di Jakarta tidak terhindarkan.
Itulah mengapa begitu menakutkan ramalan para ahli kalau Jakarta bakal tenggelam, lebih2  global warming berakibat naiknya muka air laut.
Now and next, apa yang mesti dilakukan.
Satuhal yang pasti, kita tidak boleh pasrah berdiam diri, kita semua baik individu maupun bersama-sama, baik selaku warga maupun lembaga pemerintah & swasta mempunyai tanggung jawab yang sama  secara proporsional.
Pada hakekatnya luapan air permukaan yang melebihi kapasitas daya tampung, itulah banjir.
Patokan sederhananya adalah upaya menjaga agar bagaimana kita bisa membuat agar air permukaan tidak terbuang percuma.
Membuat Jakarta kembali memiliki daya menyerap air permukaan untuk di jadikan cadangan air tanah menjadi satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, kalau kita tidak ingin Jakarta menjadi kolam raksasa, dan tenggelam.

Membuat sumur-sumur resapan dan Lubang Resapan Biopori menjadi pilihan sederhana yang murah tetapi sungguh amat mendasar dan luar biasa ampuhnya.

Dengan meningkatnya cadangan air tanah, bukan saja membuat Jakarta bisa memperkecil bahaya banjir, tetapi juga bisa membuat Jakarta tidak cepat amblas karena beban belantara beton diatasnya.
Kita boleh membangun saluran drainase, waduk air diatas Jakarta, bahkan terowongan smart deep tunnel yang akan menjadi project kebanggaan kota. Namun tetap saja konservasi alam berkelanjutan adalah yang paling utama dan bijaksana
Tetapi kita semua segenap warga bisa berkontribusi tanpa harus memiliki kemampuan tinggi, dengan cara menempatkan diri kita menjadi warga yang sadar lingkungan, warga berperilaku ramah lingkungan dan tentu saja masyarakat dengan disiplin tinggi.

Semoga banjir Jakarta 2013, menjadi mimpi buruk terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar