Jumat, 18 Januari 2013

BANJIR JAKARTA, RIWAYATMU DULU

BANJIR JAKARTA
Jakarta ternyata sejak dulu telah dilanda banjir tahunan. Posisi Jakarta memang berada di bawah permukaan laut. Bahkan banjir besar sudah terjadi sejak tahun 1600-an.
Jakarta terletak di dataran rendah. Kota Batavia oleh pendirinya JP Coen didirikan di atas rawa-rawa.
Hampir 70% daratan Jakarta dibawah permukaan laut rata2, bahkan ada beberapa tempat berada  70 – 300 cm dibawah muka air laut.
Prasasti Tugu peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang ditemukan di Cilincing, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Prasasti yang dibuat sekitar tahun 403 Masehi itu bertuliskan tentang penggalian kanal atau Sungai Candrabhaga ( Bekasi ) dan Sungai Gomati ( Kali Mati Tangerang )  sepanjang 11 km untuk mengatasi banjir .
Pada masa itu, Raja Purnawarman membuat kanal sepanjang 11 kilometer untuk mengelola air agar tidak banjir, sekaligus untuk menampung air saat musim panas. Candrabhaga kini dikenal dengan nama Bekasi, dan diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Tarumanegara pada masa lalu.
Belanda yang datang pertama kali lewat VOC-nya pun tahu bahwa banjir kerap mengancam, oleh karena itu mereka membangun kanal-kanal yang sisanya masih bisa kita saksikan di sekitar kawasan wisata Kota Tua sampai kawasan bisnis Mangga Dua.
Banjir juga terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda di abad 19. Tahun 1918, banjir besar melanda Batavia, nama Jakarta saat itu, sehingga memaksa VOC memindahkan pusat pemerintahannya. VOC kemudian merancang sistem pengendalian banjir melalui proyek kanal.
Bendungan Empang dan Katulampa pun dibangun untuk membendung aliran air. Sungai Ciliwung diolah, kanal-kanal ditambah.

Sejak tahun 1913, Belanda mengalokasikan dana 2 juta gulden untuk mengatasi banjir. Van Breen menjadi insinyur yang mendesain upaya itu. Salah satu produknya adalah pembuatan banjir kanal. Namun, Banjir Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas pembangunannya hingga Belanda pergi. Sedangkan Kanal Lingkar Kota dan sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum terbangun.
Pascabanjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota.
Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain:
(a) Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya;
(b) Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur;
(c) Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.
Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga kini.
Banjir pun terus melanda Jakarta. Tahun 1973 direncanakan proyek Kanal Barat dituntaskan. Anggaran berasal dari bantuan Belanda. Namun, proyek ini ternyata batal dikerjakan.
Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk Depok. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan desain detailnya sudah selesai, tetapi juga tak jadi dibangun.
Banjir besar terjadi lagi pada tahun 1996, 2002 dan Februari 2007. Banjir 2002 Menurut Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menggenangi 42 kecamatan di Jakarta (100 persen) dengan 168 kelurahan (63,4 persen). Luas genangan mencapai 16.041 hektar atau 24,25 persen dari luas DKI Jakarta dengan ketinggian air tertinggi lima meter. Korban banjir sebanyak 381.266 jiwa dan menelan korban jiwa sebanyak 21 orang (Kompas, 5 Februari 2002).
Kejadian banjir besar th 1996, dan th 2002 telah menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah, demikian juga kejadian besar pada tahun 2007 telah merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi. Banjir 2007 telah menyebabkan 55 orang menjadi korban meninggal dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang, dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah merupakan kerugian tidak langsung.
Banjir memang tak pernah jemu melanda Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta masa kepemimpinan  Gubernur Soetiyoso dan dilanjutkan Fauzi Bowo adalah Banjir Kanal Timur (BKT). Seperti yang dijelaskan di Wikipedia, BKT mengacu pada rencana induk yang kemudian dilengkapi “The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta” tahun 1991, serta “The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek” pada Maret 1997. Keduanya dibuat oleh Japan International Cooperation Agency.
Kanal Banjir Barat dan Timur
Dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants, tersusunlah "Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta" pada Desember 1973. Berdasarkan rencana induk ini, seperti yang ditulis Soehoed dalam Membenahi Tata Air Jabotabek, pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua terusan yang melingkari sebagian besar wilayah kota.
Terusan itu akan menampung semua arus air dari selatan dan dibuang ke laut melalui bagian- bagian hilir kota. Kelak, terusan itu akan dikenal dengan nama Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Ini adalah salah satu upaya pengendalian banjir Jakarta di samping pembuatan waduk dan penempatan pompa pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
Di dalam rencana induk itu dirancang sistem pengendalian dengan membuat kanal yang memotong aliran sungai atau saluran di wilayah Jakarta Barat. Kanal ini adalah perluasan terusan banjir peninggalan Van Breen, yang kemudian beken disebut sebagai Kanal Banjir Barat (KBB). Tetapi, karena sebagian besar alur kanal ini melintasi daerah permukiman padat, untuk pembebasan tanahnya dibutuhkan persiapan dan pelaksanaan yang panjang. Akibatnya, pembuatan perluasan BKB tersebut pun tertunda.
Setelah terjadi banjir di wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979, pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta mencari jalan pemecahan untuk mengurangi potensi terjadinya genangan pada masa yang akan datang. Rencana perluasan BKB pun diganti dengan pembuatan jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Saluran banjir Cengkareng selesai dibuat pada tahun 1983.
Kanal Banjir Barat
Pembangunan saluran banjir Kanal Banjir Barat, atau juga sering disebut Kali Malang (Barat) ini dimulai tahun 1922, dengan bagian hulu berawal dari daerah Manggarai ke arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah Karet Kubur. Selanjutnya ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di sebuah reservoar di muara, di daerah Pluit.
Kanal Banjir Timur
Untuk mengatasi banjir akibat hujan lokal dan aliran dari hulu di Jakarta bagian timur dibangun Kanal Banjir Timur (BKT). Sama seperti BKB, BKT mengacu pada rencana induk yang kemudian dilengkapi "The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta" tahun 1991, serta "The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek" pada Maret 1997. Keduanya dibuat oleh Japan International Cooperation Agency.
Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.
BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare. Rencana pembangunan BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta.
BKT akan melintasi 13 kelurahan (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer. Total biaya pembangunannya Rp 4,9 triliun, terdiri dari biaya pembebasan tanah Rp 2,4 triliun (diambil dari APBD DKI Jakarta) dan biaya konstruksi Rp 2,5 triliun dari dana APBN Departemen Pekerjaan Umum.
Untuk pembuatan BKT, perlu pembebasan lahan seluas 405,28 hektare yang terdiri dari 147,9 hektare di Jakarta Utara dan 257,3 hektare di Jakarta Timur. Sampai dengan September 2006, lahan yang telah dibebaskan 111,19 hektare dengan biaya sekitar Rp 700 miliar. Untuk tahun 2007, direncanakan pembebasan 267,36 hektare dengan biaya Rp 1,2 triliun.
Dalam kenyataannya, pembuatan kanal yang sudah direncanakan lebih dari 30 tahun lalu itu menghadapi pembebasan tanah yang berjalan alot. Pembangunannya menjadi lambat. Rencana tersebut tidak kunjung selesai direalisasikan, dan banjir seperti yang kini dirasakan warga Jakarta menjadi kenyataan setiap tahun
Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.
BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare.
Rencana pembangunan BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta. BKT akan melintasi 13 kelurahan  (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer.

(Dikutip dari Berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar